Komik Jepang atau manga laku keras di pasar Asia,
Amerika, sampai Eropa Barat dan Timur. Hal ini kerap membuat Jepang heran
betapa karya mereka bisa ‘ditelan’ bulat-bulat pembacanya di penjuru dunia. Demikian ungkap pengamat komik
dan jurnalis lepas, Hikmat Darmawan.
Disokong Pemerintah
“Paling tidak, mayoritas komikusnya seringkali heran kenapa komik mereka ditelan bulat-bulat konsumen di negara lain, dari Asia, Amerika, sampai Eropa Barat dan Timur. Jerman misalnya, salahsatu penerbitan yang sangat laris di sana adalah manga. Komikus, perusahan apalagi pemerintah Jepang seringkali heran, kok bisa?,” Sebutnya dalam comic talkshow Akademi Samali bertajuk “Preparing Publishing Industries to Face AFTA.” di ajang Popcon Asia 2014, Gedung Smesco, Jakarta, sabtu (20/9/14).
Padahal, lanjut Hikmat, komik Jepang bermuatan lokal, dan bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Tapi justru hal ini menjadi salahsatu modal untuk bersaing
di pasar terbuka asia, yaitu dengan menggali nilai lokal.
“Dari tahun-tahun awal, Osamu Tezuka
mengembangkan industri manga di Jepang, mereka hanya bikin komik itu pikirannya
adalah membuat cerita bagi mereka sendiri. Jadi sangat lokal konteksnya. Maksud
saya, kalau menggali potensi lokal, malah jangan-jangan itu adalah modal budaya yang sangat penting. Jadi tolong digali,” katanya.
Pembicara berikutnya, komikus Singapura, Lim Cheng Tju memaparkan, komik di negaranya
kurang berkembang. Kalaupun mau survive,
seniman di sana mesti menempel ke Pemerintah yang memang punya anggaran untuk
menyokong seniman.
"Benar ada funding dari pemerintah
untuk seniman-seniman di Singapura. Tapi (karya) mereka tidak
menyinggung isu-isu politik. Pernah ada satu seniman yang membuat kartun di
internet bermuatan politis kemudian dituntut pemerintah,” sebutnya.
Para komikus memang dapat menerbitkan
karya-karya lewat dana hibah, namun ada syarat dan ketentuan yang berlaku,
yaitu tidak berisi muatan politis dan kritik. Maka, kebanyakan komik di Singapura bercorak sentimentil, tidak memikirkan apa mau pembaca,
mereka menggambar sesuka mereka, selama dibiayai dan diterbitkan pemerintah. Tentang hal ini Cheng Tju punya
pandangan sendiri.
“Funding kurang elok untuk seorang seniman. Because funding makes the artist less hungry. Mestinya saat kau berkarya, ia untuk dirimu dan pembaca, ” tandasnya.
Hadir juga sebagai pembicara novelis grafis Rampokan Jawa dan Selebes, Peter van Dongen. Obrolan Santai ini dimoderatori Surjorimba Suroto.
Komentar
Posting Komentar