|
[dok. badanbahasa.kemdikbud.go.id] |
Kepunahan bahasa daerah bukan hanya karena penuturnya tidak ada,
tapi karena tidak dipakai dan diajarkan. Hal ini yang mengemuka salahsatunya dalam acara pertemuan yang membahas teknik penyusunan kamus.
Ajarkan Bahasa Daerah, Bonus Kelestarian
Kepala Bidang Pengembangan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Dora Amalia memaparkan. “Kepunahan bahasa bukan karena penuturnya tidak ada. Penutur ada tapi tidak mau memakai dan orang tua tidak mengajarkan. Itu berkaitan dengan sikap bahasa,” ungkapnya dalam Seminar Leksikografi Indonesia: “Tantangan Leksikografis Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia”, Hotel Santika, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, [26/7/16].*
Menurut
Dora, mungkin orang tua menganggap tidak penting mengajari anak Bahasa Daerah.
Keluarga, terutama di kota besar, cenderung lebih sering mempraktekan Bahasa
Indonesia ketimbang Daerah, meski mereka berasal dari etnis yang sama.
“Kalau kita
lihat kecenderungan keluarga, di kota besar terutama, walau orang tua
berasal dari satu etnis, bahasa pertama adalah Bahasa Indonesia, bahkan Bahasa
Inggris. Adapun Bahasa Daerah hanya dikuasai orang tua yang sesekali
menggunakannya antara bapak dan ibu. Anak hanya mendengar, lalu secara pasif
menguasai, tapi tidak bisa berbicara,” jelasnya.
Penelitian
yang dilakukan Dora bersama tim beberapa tahun lalu, tentang sikap Bahasa
Daerah di 6 kota besar dan daerah perbatasan menunjukan, urutan prioritas
adalah Pertama; Bahasa Indonesia, Kedua; Bahasa Inggris, Ketiga; Bahasa Daerah.
“Walau
penelitian bersifat kualitatif, kecenderungan penutur terhadap bahasa,
kesimpulannya korelasi masih positif. Tapi begitu kita tanya kasus per
kasus ditemukan, mereka lebih mementingkan Bahasa Indonesia, kemudian Bahasa
Asing, setelah itu Bahasa Daerah. Kalau kita kaitkan kebijakan Badan Bahasa;
Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing,
urutan itu tidak tercermin dalam masyarakat tutur di Indonesia,” bebernya.
Diakui
Dora, perubahan sikap bahasa merupakan pekerjan besar karena menyangkut
perubahan pola pikir. Namun, dengan konsisten mengenalkan bahasa, terutama Bahasa Daerah sejak dini,
dapat melatih anak mengenali sistem-sistem bahasa, dan bonusnya; Bahasa Daerah
menjadi lestari.
“Memang
perubahan sikap itu pekerjaan besar, karena mengubah mindset. Tapi kita juga harus
menyadarkan mereka, pelestarian Bahasa Daerah itu satu hal, penguasaan lebih
dari satu bahasa itu menguntungkan. Sejak usia dini, anak dikenalkan dua bahasa
atau lebih. Bahasa itu sistem. sistem Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah berbeda.
Kalau mereka menguasai dua bahasa dan konsisten diajarkan, anak akan mempunyai
kemampuan membedakan kedua sistem itu,” tandasnya.
Untuk mengubah sikap bahasa termasuk membina masyarakat tutur, Badan Bahasa membentuk unit khusus.
“Kalau kita
membatasi diri pada bidang pengembangan dan perlindungan saja, tugasnya hanya
sebatas mendokumentasikan supaya bahasa tidak hilang. Mengubah sikap,
menyadarkan orang, memang pekerjaan membina masyarakat tutur. Bukan berarti
kami menafikan tugas itu, tapi memang ada unit khusus untuk menyadarkan,
membina masyarakat tutur bahasa Indonesia dan daerah,” pungkasnya.
Seminar
menghadirkan lima narasumber utama, yaitu Prof. Dr. Dadang Sunendar, M. Hum.
(Kebijakan Pengembangan Kamus Bahasa Daerah di Indonesia), Deny Arnos Kwary,Ph. D. (Kamus sebagai Kitab Undang-Undang), Dr. Hasan Alwi diwakilkan Azhari
Dasman, M.Hum. (Pemerian Makna), dan David Moeljadi (Wordnet Bahasa).
Seminar
yang berlangsung empat hari ini juga menghadirkan 14 pemakalah yang membawakan
beberapa subtema yaitu (1) Leksikografi Lapangan, (2) Pemanfaatan TIK dalam
Penyusunan Kamus, (3) Penanganan Dokumentasi Bahasa-Bahasa Daerah, (4)
Aspek-Aspek dalam Penanganan Kata-Kata Budaya dalam Kamus, dan (5) Penyusunan
Korpus Bahasa Indonesia.
*
penulis mendapat kehormatan menjadi salahsatu peserta seminar.
Komentar
Posting Komentar