Sastra Indonesia adalah sastra-sastra lokal yang berjumpa
di rumah Bahasa Indonesia. Penulis dan guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri Yogyakarta Suminto A. Sayuti mengungkapkan dalam Seminar Antarbangsa Kesusastraan Asia
Tenggara (SAKAT) ke-13: "Teori dan Kritik Sastra Lokal (Sastra
Tempatan)", Jakarta, (11/9/17).
Dari Indonesia ke Trans Nasional
“Sastra Indonesia, walau masih sangat hipotetis, sebenarnya sastra lokal. Hampir semua pengarang berangkat dari lokalitas masing-masing. Dia dirumahkan dalam bahasa Indonesia jadi sastra Indonesia,” jelasnya.
Suminto membawa makalah bertajuk "Lokalitas (dalam)
Sastra Indonesia: Beberapa Kemungkinan". Disampaikan, Bahasa Indonesia memiliki dua fungsi. Pertama, menjaga kita dari telikung sosial budaya. Kedua,
sebagai rumah bersama, lumbung perjumpaan tiap lokalitas.
“Bahasa Indonesia membebaskan kreator Indonesia modern
dari telikung sosial budaya. Di sisi lain, dalam bahasa Agus Sarjono, sebagai
lumbung perjumpaan, antara lokalitas satu dengan yang lain di seantero Nusantara,”
tuturnya.
Perjumpaan yang saling beririsan itu kemudian mewujud menuju
Indonesia masa depan.
“Ketika terjadi irisan-irisan, itulah Indonesia masa
depan. Indonesia yang kita perjuangkan,” imbuhnya.
Perjumpaan ini menjadi menarik, lanjut Suminto, ketika nasionalisme Indonesia melintas ke Asia
Tenggara dan saling beririsan juga.
“Ini akan jadi menarik ketika nasionalisme Indonesia
beririsan dengan nasionalisme Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
seterusnya. Lalu membentuk regionalisme Asean, Asia, dan akhirnya trans nasional,”
bebernya.
Dari regionalisme meluas jadi trans nasional. Sinergi para kreator dalam panggung sastra pun kian strategis.
“Jika cara demikian dilakukan, sesungguhnya tidak ada alasan
untuk tidak hidup damai. Karena yang diperjuangkan pada dasarnya kemanusiaan.
Masalahnya susastra selalu nomor ke sekian. Padahal dia amat strategis kalau diletakkan dalam perspektif
strategi kebudayan,” pungkasnya.
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggelar SAKAT ke-13 sebagai
kelanjutan Musyawarah Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) di Kuala lumpur, Malaysia, pada April 2012.
Seminar dua hari ini didahului Musyawah Sekretariat Mastera (Maret 2017) dan
program penulisan puisi Mastera (Agustus 2017).