Bapak Ilmu Sosiologi dan Sejarah, Ibnu
Khaldun (1332 -1406 M) melontarkan teori masyhur soal bangkit dan musnahnya
suatu peradaban. Suatu imperium yang kuat, jika tak lanjut memperkuat, kekuasaannya bisa direbut ‘orang-orang luar kawat’. Kawanan pengembara padang pasir
yang solid dan sigap.
Tahan Petahana
Hari ini disebut-sebut sedang terjadi revolusi keempat, yakni revolusi digital. Muncul kawanan pemain baru, yang mampu menggetarkan imperium. Anak kemarin sore yang adaptif dengan kebutuhan industri zaman now. Maka, perusahaan-perusahaan lama, lewat tangan dingin CEO, harus segera hijrah ke digital agar tak terpental.
Para
petahana, orang-orang tua ini, lanjut Pak
Menteri, akan selalu berkata kepada anak-anak kemarin sore itu; Mengapa kok begini. Kamu sih enggak fair.
Kamu hanya membakar uang (burning money). Sebenarnya tidak begitu. Ini hanya perbedaan
skema bisnis.
Menteri Arief mengilustrasikan lewat perbandingan antara tanah
dan apartemen. Ibu kita lebih suka beli apartemen, sedang para bapak lebih suka
beli tanah. Mana yang return -nya
lebih tinggi?
“Beli
apartemen 100 juta. Disewakan setahun dapat 10%. Dapat Rp 10 juta. Namanya operational return. Non operation return-nya adalah capital
gain. Kenaikan harga apartemen itu. Capital gain apartemen kira-kira 5%. Jadi
total return 15%; 10% dari operasional,
dan 5 % dari non operational return,” jelasnya.
Bagaimana
dengan bapak kita yang lebih suka membeli tanah? Bapak beli tanah seharga Rp 100 juta. Umumnya
tanah tidak disewakan, maka tidak dapat biaya sewa. Walhasil, operational return
nol. Tapi dari non operational return, harga tanah bisa lebih tinggi ketimbang
apartemen.
“Tapi dari
non operational return, capital gain kenaikan harga tanah bisa sampai 20-30%.
Di indonesia rerata 25%. Ketemu 5 tahun lagi
value-nya berbeda. Yang tanah meski tidak
ada operational return, value-nya lebih tinggi dari apartemen setelah 5 tahun
kemudian,” bebernya.
Conventional
company umumnya hanya berpikir atau lebih fokus kepada pendapatan operasional. Sementara
Digital company lebih ke pendapatan non operasional. Hal inilah yang menyebabkan
perbedaan tarif.
“Bukan
perang tarif, sebenarnya. Itu akibat business
scheme. Dia murah karena akan mengambil customer
yang banyak. Perbedaan skema bisnis inilah yang mengakibatkan tarif berbeda. Yang
satu mahal, yang satu lebih murah,” tuturnya.
Terakhir,
Menteri Arief Yahya berpesan, setelah sekian lama menikmati kemewahan, sudah saatnya incumbent
berubah sesegera mungkin mengimbangi irama zaman.
“Selama
kita menjadi incumbent karena sudah menikmati kemewahan bertahun tahun, kemungkinan
kecil kita mau berubah. Maka saya sangat sarankan anak-anak bapak sajalah yang mengubah
perusahaan ini,” saran pak Menteri.
“Kalau
anak bapak tidak mau, hire orang luar.
Set up orang dari luar yang fresh, anak-anak muda. Pilihannnya harus
sesegera mungkin mengubah cara bisnisnya,” pungkasnya.
Hadir sebagai narasumber, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, Direktur Utama angkasa Pura 2 Muhammad Awaludin, Ketua Umum ASITA Asnawi Bahar, Global Senior Digital Marketing Specialist Traveloka M. Ilman Akbar, dan Pengawas Pemasaran dan Periklanan Digital Nukman Lutfie.
Komentar
Posting Komentar