Menghadapi Industri 4.0, dunia kian
berbenah. Amerika dengan ‘radical inovation’. Cina andalkan ‘speed’. Eropa
konsisten ‘engineering excellence’. Jepang dan Korea Selatan mampu ‘ability to
scale up’. Indonesia punya apa?
Vokasi dan Politeknik
Mari kita simak jawaban Menteri Perindustrian Republik Indonesia Airlangga Hartarto dalam Obsat #202 “Menuju Indonesia 4.0”, Paradigma Cafe, Cikini, Jakarta (11/5/18). Saat negara-negara tetangga: Jepang, Singapura, Thailand punya banyak populasi kaum muda, ekonominya bertumbuh. Namun kondisi sebaliknya ketika sudah melewati masa bonus demografi. Populasi orang tua lebih banyak. Beban negara jadi lebih berat salahsatunya jaminan kesehatan.
Pak Menteri beberkan, kita punya bonus
demografi hingga 2030. Negeri ini
punya banyak kaum muda bertalenta. Maka Indonesia fokus pada program yang
mendukung kualifikasi, kreatifitas dan inovasi. Beliau membagi tips sukses menghadapi Era Industri 4.0.
Kini keterampilan Bahasa Inggris
saja belum cukup. Industri 4.0 menuntut kita terutama generasi milenial agar menguasai 2 bahasa lagi. Yakni
bahasa statistik dan bahasa pemrograman.
“Sekarang harus tambah 2 lagi. Bahasa
statistik untuk membaca data. Itu wajib di dunia digital. Karena basisnya
adalah data. Ketiga adalah Bahasa coding. Kalau itu
dikuasai, maka anak muda kita siap untuk digital,” jelasnya.
Berbekal road map (peta
jalan) “Making Indonesia 4.0”, Indonesia punya serangkaian strategi dengan
aspirasi jangka panjang untuk sektor-sektor prioritas. Sektor prioritas antara lain makanan dan minuman, otomotif, elektronik, tekstil
dan busana, dan kimia (biokimia dan farmasi)
Salahsatu langkah aksi segera (quick
wins) adalah pendidikan vokasi dengan program link and match. Airlangga paparkan, saat ini ada 1,3 juta generasi muda usia pendidikan tinggi.
Sedangkan universitas di Indonesia hanya bisa menampung 700 ribu.
Jadi 600 ribu harus lari ke pasar kerja (job market).
Kemenperin mendorong Program link and match agar setidaknya
40% dari yang ke pasar kerja ini tidak menjadi pengangguran.
“Kemenperin membuat program gabungkan SMK
dan Industri. SMK yang ikut program link and match sudah 1700
lebih dengan 600 lebih perusahaan. Kita menyiapkan anak muda siap kerja,” imbuh
Menperin.
Program ini dijalankan di Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Medan, Sumatera Selatan,
dan yang baru diresmikan di Sumatera Selatan.
Berkaca pada Eropa, meski ada
negara-negara lain dengan tenaga buruh murah, Austria dan Jerman masih
mempertahankan kualifikasi. Sehingga mereka terkenal dengan teknologi tinggi
karena sumber daya manusia yang mumpuni.
Insentif Bagi Swasta
Pak Menteri lanjutkan, untuk masuk dunia digital, kualifikasi harus dimiliki untuk menjadi entrepreneur tangguh. Maka Pemerintah juga menghidupkan kembali sekolah yang pernah berjaya di antaranya Politeknik Mekanik Swiss dan NHI Bandung.
“Pernah dengar Politeknik Mekanik Swiss? Dulu terkenal NHI Bandung. Keduanya dulu bekerjasama dengan Swiss. Ini kami hidupkan kembali," tandas Menteri yang sukses menembus Apple Academy beroperasi di Indonesia.
Memacu sektor swasta, Pemerintah memberikan insentif untuk Research and Development (R&D).
Kalau perusahan melakukan investasi pendidikan, Pemerintah mendukung dengan memberikan tax allowance sebesar 200%. Pemerintah juga akan berikan fasilitas pengurangan pajak di atas 100 persen (super deductible tax)
Program lainnya, Kemenperin bekerjasama dengan lembaga penelitian terbesar di Jerman, penemu teknologi MP3, Brandenburg. Kemenperin bekerjasama di lima sektor industri. Yang menarik, di Jerman, siapapun yang berinovasi, dia punya hak paten.
Lewat segenap ikhtiar ini, diharapkan daya saing kita akan tinggi hingga siap menghadapi Industri 4.0. Obsat juga menampilkan content creator Eno Bening dan moderator Enda Nasution.
Komentar
Posting Komentar