|
foto: badanbahasa.kemdikbud.go.id |
Sebagian pegiat bahasa mengganti kata asli dengan kosa kata baru untuk istilah sensitif dan tabu. Kata asli dianggap bernilai rasa rendah. Contoh: 'Cacat' dipadankan 'Tuna'. 'Jamban' disesuaikan 'Toilet'. Sebenarnya, langkah apa yang diterapkan untuk pemadanan kata?
Pedoman Umum Pembentukan Istilah
Ivan Lanin dari Komisi Istilah ungkapkan hal tersebut dalam SeminarLeksikografi Indonesia 2018 “Leksikografi di Era Digital”, Hotel Santika
Slipi , Jakarta (2/8/18). Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta, Kenia A. Saptiti dari Universitas Airlangga bertanya. Bagaimana proses pemadanan yang diberlakukan untuk kata atau istilah yang dianggap tabu dan sensitif.
Menurut
Ivan, kata itu bersifat netral. Persepsi manusialah yang menganggap sebaliknya.
Namun ada kriteria yang dapat diterapkan dalam menentukan istilah. Kita dapat mengacu pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah
(PUPI).
“Saya beranggapan kata itu netral. Yang tidak netral itu persepsi manusia. Tapi memang kita
mengakui, kita punya rambu-rambu yang mesti dipatuhi,” sebutnya.
Dalam PUPI,
lanjut Ivan, ada 5 kriteria istilah yang baik. Dua di antaranya menjamin kata
yang dipilih itu akan bagus, baik secara makna konotatif maupun bunyi (eufonik). Proses pemadanan bisa subjektif.
“Bagaimana
itu diterapkan? Dua faktor itu subjektif. Penilaian dari satu orang dengan
orang lain bisa saja beda. Yang paling sering dikemukakan itu pemilihan antara ‘lokalisasi’
dan ‘pelokalan’,” bebernya.
Namun,
di sisi lain, masukan sebagai pertimbangan bisa saja datang dari para pengguna
istilah itu sendiri. Contoh, istilah Tuna Rungu.
“Dulu diusulkan
‘Tunarungu’. Tapi orang Tunarungu memilih kembali ke istilah ‘Tuli’. Karena menurut
mereka, ‘Tunarungu’ justru tidak menggambarkan diri mereka,” tutur Ivan.
|
foto: badanbahasa.kemdikbud.go.id
|
|
Ada Dua Mazhab
Selanjutnya,
apakah semua istilah baru atau asing yang mengemuka perlu dipadankan? Terutama oleh
Komisi Istilah. Ada dua aliran, jawab Ivan. Pertama,
aliran yang menganggap istilah tidak perlu dipadankan. Kedua, aliran yang menganggap perlu memadankan istilah. Komisi Istilah
menganut aliran yang kedua.
“Alasan
utamanya adalah untuk memudahkan kita melafalkan dan menuliskan. Proses memadankan ada dua: penerjemahan
dan penyerapan,” imbuhnya.
Tapi ada
saat di mana tidak perlu memadankan istilah baru. Yakni ketika istilah asal sudah bisa diserap dengan mudah. Contoh: kata ‘Vegan’.
Semua orang Indonesia mudah melafalkan dan ingat cara menulisnya
“Tidak
usah kita capek-capek memadankan dengan ‘Pengonsumsi Sayuran Mutlak’. ‘Vegan’
saja cukup,” ujarnya.
Untuk kata semisal Hoax dan Bungee Jumping perlu dipadankan kosa kata baru. Ini adalah contoh kosa kata asing yang sukar dilafalkan dan dituliskan bagi sebagian orang. Berita Bohong untuk Hoax. Terjun Lenting untuk Bungee Jumping.
Jika sudah
dipadankan, langkah selanjutnya adalah pembiasaan lewat sosialisasi dan diseminasi. Suatu istilah padanan bisa disebut
berhasil bila sudah digunakan meluas para penutur bahasa. Contoh kata ‘Warganet’
kini lebih populer dipakai ketimbang istilah Netizen.
Sidang
Komisi Istilah (SKI) merupakan kegiatan penyusunan padanan istilah suatu bidang
ilmu yang dilakukan pakar bidang bersama dengan ahli bahasa. Komisi di SKI
dibagi menjadi: Komisi Istilah, Komisi Penyelaras Istilah, dan Komisi
Pertimbangan Istilah.
Komisi
Istilah melakukan pemadanan istilah baru. Sedangkan Komisi Penyelaras Istilah
melakukan penyelarasan berdasarkan hasil kerja Komisi Istilah. Komisi
Pertimbangan Istilah dibentuk sesuai kebutuhan untuk memberikan pertimbangan
kepada Komisi Istilah dan Komisi Penyelaras Istilah.
Komentar
Posting Komentar