|
foto: badanbahasa.kemdikbud.go.id |
Tantangan Badan Bahasa dalam menghasilkan produk-produk
leksikografi adalah Sumber Daya Manusia (SDM) bukan persoalan ketersediaan anggaran.
Latih SDM Baru
Demikian sebut Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud, Hurip Danu Ismadi, dalam Penutupan Seminar Leksikografi Indonesia 2018 “Leksikografi Pada Era Digital”, Hotel Santika Premiere Slipi, Jakarta (3/8/18).
“Bukan
anggaran. Kalau anggaran, insya Allah
kita siap. Tapi SDM ini, bagaimana mengembangkan, terutama SDM substansi tentang perkamusan
dan IT,” imbuhnya.
Hurip
mengaku, tenaga ahli teknologi informatika sangat terbatas. Badan Bahasa kesulitan
memperoleh SDM andal. Karena kewenangan perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) berada
di tangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia.
“Terus
terang, ahli IT Badan Bahasa tidak lebih dari lima. Sedang untuk merekrut tenaga
PNS sangat sulit. Karena semua PNS yang merekrut adalah Menpan. Semua di-drop dari sana,” ungkapnya.
Badan
Bahasa hanya menerima dan tidak bisa memilih, apalagi melakukan proses wawancara calon pegawai.
“Pokoknya
semua dari Menpan. Tahu-tahu kita menerima. Seperti sekarang. Kami menerima 42 PNS baru. Tidak ada yang konsentrasi
leksikografi, hanya peminatan saja,” beber Hurip.
Maka Badan
Bahasa harus melatih lagi semua SDM yang baru masuk. Untuk itulah, Hurip berharap pihaknya
bisa bekerjasama dengan perguruan-perguruan tinggi. Terutama dalam upaya menggali
ide agar leksikografi berkembang pesat.
|
foto: badanbahasa.kemdikbud.go.id |
Romantisme Buka Kamus
Perkembangan
big data membuat Badan Bahasa juga melintas ke dunia digital menjawab kebutuhan terkini. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam jaringan
(daring) menggunakan KBBI edisi ke-5 dan pertamakali diluncurkan pada 28 Oktober 2016. KBBI daring dimutakhirkan tiap 6 bulan sekali. Untuk tahun ini, KBBI edisi kelima
dimutakhirkan. Terhitung pada April 2018, ada 1000 kata atau lema baru yang
sudah masuk ke KBBI daring.
Pemanfaatan teknologi kamus digital ini membuat Badan Bahasa membatasi pencetakan kamus. Sekarang dicetak baru sebanyak 500 eksemplar dan dibagikan secara terbatas. Apalagi kini pun sudah jarang orang membuka kamus cetak.
“Sekarang
orang buka kamus juga malas. Berat 3,2 kg. Tebalnya 2011 halaman. Sekarang sudah kita tipiskan jadi setipis ponsel. Kamus (cetak)
itu paling hanya dikoleksi di perpustakaan. Paling romantisme saja buka kamus,” tandas Hurip.
Namun bagi
daerah Indonesia Timur, misalnya. Di mana koneksi internet belum mencapai pelosok. Keberadaan kamus cetak masih diperlukan. Badan Bahasa pun menjajaki kerjasama
dengan IKAPI dalam pencetakan kamus dan diperjualbelikan. Aturan yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah
No. 82 Tahun 2016 tentang penerimaan negara bukan pajak.
Untuk mencetak 500 eksemplar saja, lanjut Hurip, butuh
kurang lebih 200 juta rupiah. Belum termasuk ongkos kirim. Sedang kini jumlah minimal untuk cetak sebanyak 3000 eksemplar. Akan sulit jika hanya mengharapkan APBN dengan mengajukan ke Direktorat Jenderal
Anggaran. Karena kita akan bicara efisiensi dan pemotongan.
Maka perlu bekerjasama dengan para penerbit dalam pencetakan dan penyebarluasan kamus. Saat ini, Badan Bahasa masih menunggu penetapan harga eceran tertinggi agar terjangkau semua kalangan.
Hurip
juga sebutkan solusi lain yakni dengan memanfatkan program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS). Pemerintah bisa berikan subsidi pembelian kamus, selain pembelian
buku dan peralatan sekolah.
Komentar
Posting Komentar