|
foto: sindonews |
Pansus dan BPK
Pansus
yang disahkan Paripurna DPR RI pada 5 Oktober 2015 ini memanggil Meneg BUMN, Menteri Perhubungan, Dirut Pelindo
II beserta direksi dan komisaris Pelindo II, direksi JICT, lembaga konsultan
asing, pengacara dan beberapa kalangan lainnya Dari hasil pemanggilan, Pansus
temukan 5 persoalan mendasar di Pelindo II.
Lima
temuan penting Pansus Pelindo II terkait 1.) Masalah pengadaan barang dan jasa,
2.) Perpanjangan pengelolaan JICT antara Pelindo II dengan Hutchison, 3.) Program
pembangunan dan pembiayaan Terminal Pelabuhan Kalibaru oleh Pelindo II, 4.)
Kasus penerbitan Obligasi Global senilai Rp 21 triliun, 5.) Tata kelola Pelindo
II, termasuk persoalan pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang sangat serius.
Pansus
lalu meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa perpanjangan kontrak
kelola JICT antara Pelindo II dengan HPH. Pada 1 Desember 2015, BPK keluarkan
laporan hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu No 48/AUDITAMA VII/
PDTT/12/2015.
Temuan
BPK menyebutkan, perpanjangan kontrak dilaksanakan tanpa izin Menteri BUMN dan
Menteri Perhubungan. Akibatnya, Negara dirugikan sebesar USD 50,19 miliar karena uang muka yang tidak optimal.
Berbekal
laporan BPK dan temuan informasi lainnya, dalam Sidang Paripurna DPR (17/12/15),
Pansus menyimpulkan: Meneg BUMN dan Dirut Pelindo II telah bertindak dengan
tidak memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pansus
Pelindo II juga menilai, telah terjadi pelanggaran UU Ketenagakerjaan yang
dilakukan Pelindo II dan JICT karena sewenang-wenang melakukan pemutusan
hubungan kerja.
Pansus
Pelindo II rekomendasikan 5 butir penting:
- Pembatalan
perpanjangan kontrak JICT 2015-2018 karena terindikasi telah merugikan Negara
dan menguntungkan pihak asing
- Penghentian
praktik pemberangusan serikat pekerja dan mempekerjakan kembali pekerja yang
telah di-PHK
- Mendorong
aparat penegak hukum melanjutkan penyidikan atas pelanggaran UU yang
mengakibatkan kerugian negara
- Merekomendasi
Menteri BUMN untuk segera berhentikan Dirut Pelindo II
- Merekomendasikan
Presiden RI untuk tidak membuka investasi asing yang dalam jangka panjang
merugikan bangsa Indonesia
Pansus
diperpanjang. Pada Maret 2016, BPK melakukan audit investigasi lanjutan. Pada 6
Juni 2017 BPK rilis laporan yang mengejutkan segenap pihak. Telah terjadi
penyimpangan-penyimpangan yang saling berkaitan dalam proses perpanjangan
kontrak JICT antara Pelindo II dengan HPH dengan indikasi kerugian negara sebesar
Rp 4.081.122.000.000 (kurs Rp
13.337,00/USD).
BPK menyelesaikan
pemeriksaan investigasi Kerja Sama Operasional Terminal Peti Kemas Koja dan
Pembiayaan Pembangunan Terminal Kalibaru Tahap I. Hasil investigasi dilaporkan
dalam Rapat Konsultasi Pimpinan DPR (31/1/18).
Hasil
investigasi menyingkap kerugian keuangan Negara pada Pelindo II minimal Rp 1,86 triliun. Terdiri dari
kekurangan upfront fee yang
seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar
ekuivalen Rp 1,84 triliun. Investigasi juga temukan pembayaran biaya konsultan
keuangan kepada Deutsche Bank Cabang Hongkong yang tidak sesuai ketentuan
kontrak sebesar Rp 21,21 miliar.
Dalam Investigasi
Pembiayaan Pembangunan Terminal Kalibaru, BPK temukan penyimpangan perencanaan
kebutuhan pendanaan investasi Global Bond 2015 yang tidak cermat dan menyeluruh.
Sehingga terjadi pinjaman yang melebihi kebutuhan. Hal ini mengakibatkan dana
menganggur USD 574,78 juta dalam
bentuk deposito dan instrumen lain dengan tingkat pendapatan bunga lebih rendah
dari beban bunga Global Bond.
Hal lain,
keputusan lunasi pinjaman sindikasi dari Global Bond yang tidak didukung
analisis effective rate memadai, karena
bunga efektif pinjaman sindikasi lebih rendah dari bunga Global Bond. Penyimpangan
tersebut mengakibatkan indikasi kerugian negara pada Pelindo II sebesar Rp 741,75 miliar.
Terdiri
dari selisih bunga Global Bond dgn pendapatan bunga deposito atas dana idle
periode Mei 2015 s/d. Desember 2017,
sekurang-kurangnya sebesar Rp 539,03
miliar. Indikasi kerugian negara juga termasuk selisih bunga Global Bond
dgn biaya pinjaman sindikasi periode Mei 2015 s/d Desember 2017 sebesar Rp 202,73 miliar.
What's Next?
Dari sisi
hukum, digawangi konsultan hukum asing ‘Norton Rose’, Dirut Pelindo II RJ Lino
mengaku telah mengantongi izin Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun)
dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) agar kontrak JICT bisa kembali
ke tangan Hutchison.
Kejanggalan pun muncul. Kejaksaan
Agung tegaskan, Legal Opinion
(LO) permintaan Pelindo II keluar 21 November 2014. Tapi dokumen kontrak
Pelindo dengan HPH dilakukan sejak 5 Agustus 2014. Jadi sebelum LO, lebih dulu
muncul kontrak perpanjang.
Pansus berpendapat, kalau pandangan hukum Jamdatun digunakan sebagai dasar hukum,
itu melawan hukum dan penyelundupan hukum. LO Jamdatun tidak bersifat mengikat
dan bukan dasar hukum sebuah kebijakan yang dikeluarkan PT Pelindo II. Jadi tidak bisa jadi landasan hukum perpanjangan kontrak JICT dan dilegitimasi untuk menjalankan kontrak hingga saat ini.
Rekomendasi
Pansus Pelindo II jadi salah satu petunjuk BPK ungkap misteri kontrak JICT. BPK
temukan secara telak perpanjangan kontrak JICT jilid II melanggar UU 17/2008 karena
dilakukan tanpa izin konsesi pemerintah dan merugikan negara minimal Rp 4,08
trilyun.
Dirut
Pelindo II memang telah ditetapkan sebagai tersangka dan diberhentikan. RJ Lino menjadi tersangka
dugaan korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) oleh PT Pelindo II tahun
2010. Namun, KPK masih terus lakukan penyelidikan dan belum umumkan tersangka
dugaan kasus korupsi kontrak JICT, karena sejumlah temuan BPK terkait
pelanggaran hukum dan kerugian negara masih terus didalami.
Perjuangan SP JICT berlanjut. SP JICT terus membangun kesadaran pentingnya pengelolaan aset strategis nasional. Karena pelabuhan merupakan “Pintu Gerbang Ekonomi Nasional" untuk lalu lintas barang dan jasa lintas negara. Adalah tugas anak bangsa untuk senantiasa mempertahankan kedaulatan maritim nasional.
Hal ini seiring sejalan dengan amanat Nawacita Sembilan program yang dijalankan Presiden Joko Widodo bersama Wapres Jusuf Kalla. Sembilan agenda prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar