Pendiri Foreign Policy Community Indonesia
Dino Patti Djalal mengajukan pertanyaan kepada ribuan peserta pembukaan Conference of Indonesian Foreign Policy
2018 “A Dangerous Drift? Ideas To Fix a Broken World”.
Bilateral Ketimbang Multilateral
Yang anggap dunia sekarang dalam kondisi tak menentu (drifting), silakan angkat tangan. Jawaban mengejutkan yang didapat. Hampir seluruh hadirin yang memenuhi the Kasablanka Hall, Jakarta, 20 Oktober 2018 spontan mengangkat tangan.
Dino
menyampaikan, dunia sedang terombang-ambing tak menentu, dan ini berbahaya.
Ia lalu beberkan indikator-indikatornya. Pertama, tidak ada figur kepemimpinan
dalam hubungan internasional.
Amerika
Serikat sibuk mengangkat nasionalisme di bidang ekonomi dengan America First
Foreign Policy. Negara-negara Eropa ingin menonjol, namun sumber daya terbatas, tidak bisa bergerak sendiri. Sedangkan para kekuatan baru: Tiongkok, Korea
Utara, dan Korea Selatan, jelas punya sumberdaya lebih dari cukup. Namun mereka masih menunggu
dan memantau serta sangat selektif memilih siapa yang pantas. Bukan berarti juga mereka tidak akan ambil peran itu.
Dino
melanjutkan, pertanda kedua, yakni banyak negara yang sudah tidak berminat bergabung
dalam urun rembug internasional atau kegiatan multilateral.
“Mereka
merasa jalur bilateral lebih bagus dan cepat daripada forum multilateral. Tidak
ada yang salah. Ini umum dan tren ini terus tumbuh,” imbuh Wakil Menteri Luar
Negeri Indonesia ke-4.
Maka, tak heran kini perkembangan kegiatan-kegiatan multilateral tersengal. Konferensi-konferensi
internasional yang diadakan sebatas seremonial tanpa menghasilkan keberlanjutan
berarti. Tengok perkembangan lamban impelementasi hasil konfrensi perubahan
iklim. Di sisi lain, Dewan Keamanan PBB makin sulit mencapai konsensus terutama dalam mengakurkan 5 Negara anggota tetap DK PBB.
Kita melihat peristiwa regional, misalnya Brexit yang masih menjadi onak duri dipijak, terutama dalam proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Kita juga lihat masih terjadi
tarik ulur dalam Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North America Free
Trade Agreement/NAFTA).
Yang
masih relatif bagus, sebut Dino, adalah Negara-Negara Asia Tenggara. Mereka yang tergabung dalam ASEAN menjadi organisasi
regional yang masih solid. Namun pekerjaan rumah yang terus dilakukan adalah memberi pemahaman lebih luas soal Asian Economic Community oleh
masing-masing negara anggota kepada warganya.
Indikator
lainnya, kita juga melihat tensi antar negara-negara superpower; Amerika,
Tiongkok, Jepang, Rusia, dan Eropa. Kemudian, perang ekonomi terus berlangsung sengit dan krisis kepercayaan makin mengikis. Antara satu negara dengan negara lain saling menaruh curiga soal belanja negara terkait senjata dan pertahanan.
Praktik demokrasi
di banyak negara pun mengalami tekanan atau malah kemunduran selama 12 tahun
terakhir. Selain itu, yang patut dicermati, terjadi tren populisme yang berpadu dengan politik identitas di
banyak negara, termasuk Amerika Serikat dengan terpilihnya Donald Trump menjadi presiden.
|
Korea Utara dan Korea Selatan terima penghargaan perdamaian |
Nasionalisme Welas Asih
Jadi
apa gagasan kita untuk perbaiki dunia yang sedang patah ini? Apa yang bisa
ditawarkan CIFP 2018? Dino ajak kembali ke belakang, bahwa dunia pernah
mengalami kondisi yang lebih parah, yakni pada 1945, pasca Perang Dunia II di mana Jepang menyerah diluluhlantak bom nuklir dan kemerdekaan Indonesia baru direbut. Selanjutnya, Indonesia bersama
negara-negara Asia Tenggara membentuk ASEAN yang mampu mengubah peta kekuatan
regional sejak itu.
Selalu
ada kabar baik yang mengimbangi kabar buruk. Dino paparkan buktinya. Perang saudara selama 52 tahun di Kolumbia
kini mencapai titik temu dengan ditandatangani perjanjian perdamaian. Tun Mahatir
Muhamad kembali memegang tampuk kepemimpinan Malaysia di usia 92 tahun. Pemilihan
umum di Irak memasuki fase demokrasi post sektarian yang berpotensial masa
depan lebih cerah bagi Sunni dan Syiah.
Dan yang
masih hangat apalagi kalau bukan perdamaian antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Juga yang masih mengepul, kabar baik dari negeri sendiri. Tak hanya sukses menjadi
tuan rumah, Indonesia pun berhasil meraih 98 medali di ajang Asian Games
2018.
Sebenarnya, populisme tidak selalu identik dengan politik identitas dan euforia nasionalisme
yang lantas defensif terhadap bangsa lain. Menurut Dino, kita bisa menerapkan compassionate nasionalism atau
nasionalisme welas asih.
Kemerdekaan Indonesia berawal dari semangat populisme menjelma rasa nasionalisme untuk selanjutnya digaungkan di
pentas internasional sebagai seruan pembebasan terhadap negara-negara dari
belenggu kolonial.
Kemudian,
kita lihat hubungan Jerman dan Turki yang tidak bisa dikatakan mesra. Namun dalam
merespon para pengungsi Timur Tengah, mereka melakukan langkah yang sama. Jerman
dan Turki mampu membangun ekonomi tanpa harus kehilangan rasa kemanusiaannya. Mereka
mau menerima para pengungsi. Jerman menerima lebih dari satu juta pengungsi Timur Tengah. Sedangkan Turki menerima dua juta pengungsi Timur Tengah.
“Inilah
compassionate nationalism. Ini juga
kenapa saya menghargai upaya keras ibu Menlu RI yang memberi perhatian kepada para
pengungsi dari Rohingya,” imbuh Dino
Korea Utara
dan Korea Selatan yang memiliki sejarah panjang naik turun tensi konflik saja
bisa saling membuka pintu kini. Supreme Leader Kim Jong-un dan Presiden Moon Jae-in mengambil lompatan besar keluar untuk
upaya rekonsiliasi dan kesepakatan. Jika kedua negara yang sudah lama berseteru ini saja bisa, Dino optimistis,
suhu kondusif geopolitik antar negara-negara didgdaya ini juga akan terwujud.
Indonesia pun membuktikan masih bisa rujuk kembali dengan Malaysia atau bisa berteman erat kini dengan Timor
Leste. Begitu pula hubungan diplomasi hari ini antara Indonesia dengan Tiongkok yang sempat
mengalami kebekuan. Dino tuturkan pengalamannya waktu aktif sebagai diplomat.
“As a
diplomat i could not talk to any Chinese diplomat, or I'll get fired. But right
now China is a strategic partner of Indonesia,” aku pria yang pernah menjadi Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat ke-17.
Jadi
masih ada harapan untuk memperbaiki kondisi tak menentu dari hubungan
internasional hari ini. Jika dalam satu konsensus ada beberapa negara mundur dari perjanjian
bersama, teruslah berjalan. Hubungan multilateral harus terus terjalin selama
bagus untuk kepentingan bersama di masa depan.
Foreign
Policy Community of Indonesia (FPCI) merupakan organisasi nirlaba non-politis
dan independen yang bergerak di bidang hubungan internasional. Dibentuk pada 2014,
FPCI telah berkembang pesat menjadi komunitas hubungan luar negeri di Indonesia
dengan kurang lebih 40,000 anggota dalam jaringannya.
FPCI
menjadi salah satu wadah bagi orang-orang dari berbagai latar belakang dan
pekerjaan, seperti: Menteri, pejabat pemerintahan, Duta Besar, diplomat,
anggota militer, selebritis, tokoh masyarakat, aktivis, dosen, hingga
mahasiswa.
Komentar
Posting Komentar