Lahan Kerjasama Operasional Terminal Peti
Kemas (KSO TPK) Koja terus menyempit jadi 30,6 Ha dari yang semula direncanakan,
yaitu 90 Ha. Kondisi diperparah dengan tindakan PT. Pelindo II menyewakan lahan yang sedianya untuk TPK Koja.
Performa TPK Koja
Bukan diperluas malah dipersempit. Bukan ditingkatkan nilai aset malah disewakan. Ada apa dengan terminal yang pernah dijuluki Booming’s Port untuk Asia Tenggara ini?
Secara
volume, arus bongkar muat (throughput)
di TPK Koja sejak 1997 terus meraih peningkatan. Merujuk data 1997, volume
bongkar muat sebesar 137.8200 TEUs, naik menjadi 287,680 di tahun 1998. Konsistensi
peningkatan volume berturut-turut dari 1999 hingga 2000, yakni 398.870 TEUs
(1999), 494.800 (2000).
Pada saat saham HTP dilepas OTP, throughput TPK Koja terus meningkat, yaitu dari 490.120 TEUs
(2001), 551.180 TEUs (2002), 547.280 TEUs (2003),615.250 (2004), 573.830
(2005), 583.00 (2006), 702.860 (2007), 704.62 (2008), 620.17 (2009), 754.592
(2010), 823.730 (2011), 820.730 (2012), 851.885 (2013), 872.508 (2014), 975.438
(2015), 827.198 (2016), dan 1 juta TEUS (2017).
Berdasarkan
fakta performa ini, jelas pengoperasian TPK Koja sangat menguntungkan para
pemegang saham. Apalagi jika dihitung sejak penjualan saham HTP di tahun 2000,
investasi sebesar US$ 150 juta yang dikeluarkan OTP telah mencapai titik impas
(break event point/BEP) pada 2008. Hal
ini tampak dari besaran akumulasi profit dari 2000 sampai 2008 sebesar US$
150.607.917. Jadi dari 2009 hingga
berakhir konsesi pengelolaan di tahun 2018, HPI (dulu OTP) meraup untung bersih
secara terus-menerus. Bahkan hingga
akhir 2014, total pendapatan HPH sudah mencapai US$290.426.278 atau US$
140.426.678 setelah BEP.
Rendahnya Biaya di Muka
Pada Agustus
2014, Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino, kembali memperpanjang kontrak HPH
di TPK Koja hingga 2038. HPH berkewajiban menyetor dana up front fee hanya US$ 50 juta, padahal harga TPK Koja tahun 2000
saja sebesar USD 147 juta. Mengacu produktivitas terminal serta nilai penjualan
saham dari OTP ke HPH di tahun 2000, nominal dana di muka tersebut hanya
sepertiganya saja.
Perpanjangan
kontrak HPH di TPK Koja memuat klausul yang sepintas bisa dianggap
menguntungkan Pelindo II. Kewajiban HPH bayar rental fee tiap tahun sebesar US$ 35 juta. Tapi nyatanya, rental fee dibayarkan TPK Koja bukan HPH.
Tak pelak,
besaran angka ini menimbulkan kecurigaan, wabikhusus Panitia Khusus DPR-RI
tentang Pelindo II, yang menyebutkan angka itu muncul tanpa melalui valuasi
sama sekali. Audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kuatkan dengan mengungkap
kerugian Negara sebesar Rp. 1,08 triliun. Tak heran DPR RI merekomendasikan yang
mendesak Pemerintah batalkan perpanjangan kontrak HPH karena terindikasi
melanggar UU No. 17/2008 dan merugikan keuangan Negara sesuai audit BPK.
Selain
mendapat TPK Koja dengan harga murah, mengacu klausul perjanjian perpanjangan
kontrak terbaru, HPH juga lebih diuntungkan karena tidak perlu melakukan
investasi. Pembiayaan Capex 2014-2038 berasal dari dana hasil operasi TPK Koja.
Pendek kata, TPK Koja mampu membiayai sendiri untuk program pengembangan
kapasitas dan layanannya.
Selain
masalah up front fee yang rendah, meski
berstatus KSO, Pelindo II dan HPH memberlakukan semua aturan sama plek dengan badan hukum Perseroan
Terbatas (PT). Makin kusut saja lilitan
proses perpanjangan kontrak HPH di TPK Koja.
Padahal,
jika mengacu pada perjanjian induk, dalam hitungan hari hingga Oktober 2018
konsesi HPH sebenarnya akan berakhir. Seharusnya pada tahun ini 100%
kepemilikan saham TPK Koja milik Pelindo II. Apa mau dikata, aset berharga bangsa ini terpaksa tergadaikan
kembali selama sekian puluh tahun lagi ke depan membawa berbagai indikasi
pelanggaran.
Pelemahan TPK Koja
Nilai KSO TPK Koja terus dilemahkan. Lahan makin
sedikit karena disewakan PT. Pelindo II kepada PT Graha Segara (depo peti kemas)
dan PT Aneka Kimia Raya untuk Instalasi Tanki Penyimpanan Bahan Bakar cair. Belum
berhenti di situ, Lahan Koja harus kena pengalihan lahan untuk perluasan
Container Yard PT. JICT ke arah area TPK Koja.
Alasan
dilakukan perluasan PT. JICT untuk kemudahan Transhipment. Dalam dua tahun ke
depan PT JICT melakukan ekspansi dengan investasi 166 juta US$. Dari modal
sebesar itu JICT beli dua QCC Super Post Panamax Twin lift yang
pengoperasiaannya diresmikan Menteri Perhubungan pada 30 Januari 2009. Menyusul
QCC crane, datang juga enam RTG crane dan saat ini sedang dilaksanakan
pembangunan Container Yard seluas 36 Ha.
Dengan
ekspansi sebesar itu, PT JICT pasang target akan mampu tangani sebanyak 3.2
juta TEUs peti kemas setahun. Padahal jumlah peti kemas yang keluar masuk
Tanjung Priok hanya sekitar 3 juta TEUs. Jadi Tanjung Priok hanya butuh satu
terminal Peti Kemas, cukup PT JICT saja yang
urusi Tanjung Priok.
PT HPI Lemahkan TPK Koja
Sebagian
peralatan telah habis nilai bukunya sehingga harus segera dilakukan pergantian.
Tapi sejak mengambil alih dari Humpuss Terminal Petikemas pada 2000, HPI belum
pernah melakukan investasi apalagi peremajaan terhadap aset suprastruktur yang
mereka miliki. Tuntutan syarat ISPS code agar TPK Koja memasang kamera CCTV juga
tak kunjung dipenuhi. Sementara, pencairan dana 30 juta US$ dari Escrow account
hasil penyisihan amortisasi selama ini yang seharusnya terealisir dalam bentuk
investasi pun belum jelas penampakannya.
Bentuk
penyertaan modal PT HPI dalam KSO Koja adalah aset suprastruktur yang berada di
atas aset infrastruktur milik PT Pelindo II yang berupa 6 QCC, 21 RTG, 40 Head
Truck, 50 Chasis, Fasilitas Workshop, Power House dan gedung kantor.
PT Pelindo II Lemahkan Koja
Akibatnya lahan disewakan, tidak ada lagi
lahan yang tersisa untuk TPK Koja. Bahkan untuk sekedar parkir truk kontener dan
tempat istirahat sopir sekalipun. Belum lagi ketentuan Dirjen Bea dan Cukai yang
mengharuskan tiap TPK wajib memiliki lokasi pemeriksaan behandle sendiri.
Jalan
akses utama yang banjir, dermaga yang anjlok, gedung kantor semi permanen yang
tak layak huni karena kontruksinya hanya untuk 5 tahun dan sekarang berada di
lokasi yang rawan (diapit dua instalasi tanki BBM yang flameable) menambah
panjang daftar keterpurukan TPK Koja.
Pelemahan
Koja oleh Pelindo II diperparah dengan penempatan
orang-orang yang tidak kompeten dalam jajaran manajemen TPK Koja. Akibatnya
pada akhir 2007 TPK Koja jadi satu-satunya
terminal peti kemas modern yang sempat tidak memperoleh sertifikasi ISPS Code
dari US Coast Guard.
Citra
TPK Koja juga sempat jatuh karena ketiadaan prosedur penanganan terhadap barang
yang diduga bom tetapi ternyata barang tersebut hanya mainan namun sudah sempat
terekspose media bahwa telah ditemukan bom di area TPK Koja sehingga sangat
merugikan citranya di dunia internasional.
Kinerja
Manajemen pun sangat lemah. Terbukti dari 21 RTG yang
dimiliki TPK Koja kini tinggal 18 yang efektif beroperasi. Satu buah rusak
karena kecelakaan pada 2000 dan klaim asuransi pun sudah cair namun raib entah
kemana. Dua buah lagi break down sejak 2004 hingga saat ini dikarenakan
lemahnya manajemen pengadaan spare part sehingga terjadi budaya kanibalisme
spare part. Bisnis terminal petikemas adalah bisnis yang mengandalkan
peralatan. Gagal dalam menjaga nilai ekonomi sebuah peralatan berarti selangkah
menuju kehancuran.
Di
bidang hubungan industrial pun manajemen TPK Koja mempunyai cacat. Dua kali
Demonstrasi yang melibat seluruh karyawan pada desember 2006,disusul mogok
kerja pada january 2007. Pada november 2007 terjadi pula gerakan slow down
operasional yang menyebabkan kapal tertunda 8 – 16 jam. Dan masih segar dalam
ingatan pada tanggal 5 juni 2008 yg lalu manajemen TPK Koja mendatangkan
puluhan polisi KP3 dengan senjata lengkap untuk mengepung karyawan yang ingin
berdialog baik-baik dengan direksi.
Namun
apa yang dilakukan Pelindo II atas rapor merah orang – orang kepercayaannya?
Per 1 Februari 2007 manajemen TPK Koja malah dianugrahi jabatan Direktur dari yang sebelumnya General
Manager. Hal ini jelas-jelas menyalahi akta notarial Perjanjian Kerjasama
Operasional. Belakangan diketahui bahwa penganugrahan itu tidak didasari
pertimbangan operasional perusahaan namun lebih karena keinginan para pemangku
jabatan yang butuh prestise pribadi.
Pelemahan
dilakukan PT Pelindo II dan PT HPI yang seharusnya menguatkan TPK Koja. Hal ini
menimbulkan berbagai tanda tanya. Kenapa terjadi pembiaran atas operasi yang
sangat minim dan rendah daya saing TPK Koja? Apakah seperti ini contoh pengelolaan
bisnis yang sehat?
Disarikan dari buku “Melawan Konspirasi Global di Teluk Jakarta”.
Posting Komentar untuk "TPK Koja, Riwayatmu Kini"