Featured Post

Nomaden Penggetar Imperium

[dok. windowscentral]

Belakangan ini kita kerap menemukan artikel dan tulisan yang memprediksi sejumlah profesi tertentu bakal tergerus bahkan punah digantikan jenis pekerjaan baru yang mengandalkan teknologi internet. Hal ini menyusul gelombang baru menyembul dari apa yang disebut khalayak sebagai ekonomi digital yang dipacu daya kreatif pelakunya.



 Modal SDM

Dalam menghadapi globalisasi, Bapak teknologi Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie selalu menekankan pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), tidak hanya Sumber Daya Alam (SDA).  Dengan meningkatkan SDM, maka kita dapat membuat produk yang memiliki nilai jual tinggi.    

SDA punya keterbatasan dengan cadangan yang kian menipis. Pemain-pemain utamanya adalah para status quo yang menjalankan business as usualBegitupun di sektor-sektor lain seperti: retail, makanan dan minuman, kesehatan, dsb. Jangan berharap akan terbuka peluang pemain baru.


Jadi di mana posisi generasi milenial, Y dan Z di peta ekonomi nasional? Jawabnya ada di ekonomi digital. Anak muda punya Ide. Ya, ide. Karena gagasan itu tak terbatas, bisa diuji, diperkuat, ditingkatkan, dan diwujudkan dalam produk bernilai tambah. Gagasan diolah menjadi bahan baku dan dimatangkan untuk kita kemas dan jual menjadi produk unggulan. Kita bisa berperan sebagai penyambung dari bisnis-bisnis yang sudah ada. 

Dalam ekosistem ekonomi digital identik kaum muda optimistis yang mampu membelah kebuntuan, salahsatunya lewat usaha-usaha rintisan (startup). Mereka datang membawa konsep segar, revolusioner, dan inovatif. Lewat tangan dingin mereka lahir aplikasi transportasi online, dan situs belanja daring yang menjawab kebutuhan masyarakat dengan kesibukan tingkat tinggi, dan lalu lintas jalan yang tak menentu. Kita bisa berperan sebagai penyambung dari bisnis-bisnis yang sudah ada. Selain komersial, inisiatif digital juga muncul berbasis filantropi yang menggalang dana menjangkau masyarakat luas.    

Hadirnya teknologi finansial membuka jalan para pelaku usaha yang belum tersentuh perbankan padahal potensial dan punya performa andal. Dalam perhelatan Fintech Day dua pekan lalu, anak-anak muda tampil menawarkan solusi akses pendanaan cepat. Tak melulu pinjaman konsumtif, fintech menopang kegiatan produktif dengan peruntukan yang luas, mulai petani, nelayan, UMKM, hingga mahasiwa yang membutuhkan biaya pendidikan. 

Primadona Baru

Melansir TEMPO,  Nilai transaksi e-commerce dalam bentuk iklan jual-beli, retail, hingga mal online diperkirakan mengambil 3,1 persen pasar retail. Transaksi melalui fintech menyentuh Rp 252 triliun, yang sebagian besar berasal dari pembayaran digital. Sedangkan e-travel, yang diwakili bisnis mobilitas dan perjalanan, menyumbang Rp 105,798 triliun pada tahun ini.

Dalam Riset Google bersama A.T. Kearney yang dirilis pada September 2017, terlihat nilai investasi sektor berbasis ekonomi digital menyusul nilai sektor berbasis SDA. Laporan Investasi Digital Dibanding Sektor Lain (kuartal I 2017, Rp triliun)  menunjukkan, nilai investasi di perusahaan-perusahaan startup menyentuh angka Rp 40 triliun sampai semester pertama tahun ini. Angka itu melampaui nilai investasi sektor makanan dan minuman (R 37 triliun). Investasi lokal dan global pada perusahaan rintisan hanya kalah dibanding kucuran modal ke sektor pertambangan (Rp 44 triliun) serta minyak dan gas bumi (RP 65 triliun).

Namun tren inisiatif digital kini bergeser dan menguat ke sektor fintech dan pendidikan (Ruangguru, realcom, dsb). Pasar e-commerce dan e-travel sudah penuh dan sesak. Karena itu, mereka tidak lagi menjadi primadona. Hanya akan ada dua-tiga pemain utama yang eksis di pasar transaksi elektronik.


Melihat perkembangan ini, tak heran bila Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menganggap ekonomi digital dapat menjadi kunci pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan setengah penduduk Indonesia yang berusia di bawah 30 tahun, perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ekonomi.

Kemunculan gelombang kaum muda meramaikan dinamika ekonomi digital ini mengingatkan penulis akan satu teori masyur Ibnu Khaldun (1332 -1406 M). Bapak Ilmu histografi, sosiologi, dan ekonomi ini melontarkan peringatan perihal bangkit dan runtuhnya peradaban. Suatu imperium meski kuat, jika terlena tidak berbenah dan melakukan pembaruan, tampuk tahta bisa direbut orang-orang luar singgasana. Pasukan luar lingkaran yang luput dari kalkulasi pertahanan istana. Kaum Nomaden. Kawanan pengembara padang pasir yang solid, taktis, sigap, dan penuh strategi membalik tantangan menjadi peluang.  

Teori siklus yang tertuang dalam karya terkenal Muqaddimah ini masih relevan dengan kondisi hari di mana sedang berlangsung revolusi keempat, yakni revolusi digital. Sudah muncul anak-anak kemarin sore yang adaptif mengolah ekonomi digital untuk kebutuhan industri zaman now. Telah tiba kawanan pemain baru yang mampu menggetarkan imperium. Selamat datang di era disrupsi.

Komentar

Artikel Populer