Kamis 11 Oktober 2018 menjadi hari yang istimewa,
setidaknya bagi 400 pekerja alihdaya Jakarta International Container Terminal (JICT) yang tergabung dalam Serikat Pekerja Container (SPC) yang diberhentikan sepihak
pada 31 Desember 2017.
Dua Bukti Kuat
Sembilan bulan lebih, ratusan pekerja alihdaya yang di-PHK ini berjuang demi mendapatkan keadilan untuk dapat bekerja kembali. Namun, awal Oktober 2018 menjadi momen bersejarah di mana telah keluar surat nomor 11161/-1 836.1, Dinas
Tenaga Kerja (DisnakerTrans) yang menyatakan, JICT telah melanggar aturan dengan
melakukan outsourcing kepada SPC pada pekerjaan utama yakni Operator RTGC &
Tallyman.
Keluarnya
surat DisnakerTrans ini juga diperkuat hasil Nota Pemeriksaan Khusus Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta nomor 16891 / - 1.836.1
tanggal 25 September 2018. Hasil nota menyatakan Manajemen JICT melanggar pasal
65 ayat (8) Undang-Undang 13 tahun 2003.
Hasil
nota ini pun keluar bukan tanpa perjuangan. Awalnya, SPC menilai proses
penyelesaian SudinakerTrans Jakarta Utara atas aduan SPC terlihat melenceng, Mereka
pun melakukan piket dan medirikan tenda perjuangan selama 9 bulan lebih di
halaman kantor SudinakerTrans Jakarta Utara. SPC lalu melakukan pengaduan
kepada DinakerTrans Provinsi dan Gubernur serta Wakil Gubernur sampai terbit
nota yang sesuai dengan aturan dan Undang-Undang.
Dengan
adanya dua pernyataan tertulis ini, JICT yang merupakan anak usaha Pelindo II, tidak bisa tidak, harus tunduk pada
peraturan. Jangan ada lagi usaha mengakali untuk mengejar keuntungan perusahaan
semata. Manajemen JICT tidak bisa lagi beraladan dan mengeluhkan isu kenaikan
biaya. Karena faktanya di lapangan, Pelindo II mengangkat 200 lebih tenaga outsourcing pada 2014. Langkah ini malah
meningkatkan pendapatan dan produktivitas perusahaan.
Skema Mirip Praktik di JICT
Setelah
JICT, kita beralih ke tetangga sebelah yakni Terminal Peti Kemas (TPK) Koja. Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI telah menyelesaikan audit investigatif terhadap
proses pembangunan TPK Koja Jakarta Utara. BPK menemukan penyimpangan-penyimpangan dan indikasi
kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II paling sedikit sebesar USD 139,06
juta atau setara Rp 1,86 triliun.
BPK RI
ungkap, skema yang diduga penyalahgunaan
ini mirip dengan apa yang dipraktikkan ke TPK Jakarta International Container
Terminal (JICT). Seperti diketahui, lewat audit investigatif, BPK sudah lebih
dulu mengupas kasus di JICT dan menemukan sejumlah kerugian keuangan negara.
Metodenya
identik, dimulai dengan rencana perpanjangan yang sejak 2011 dimulai secara diam-diam oleh Direktur Utama Pelindo
II. Rencana ini tak pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang
Perusahaan dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Hal itupun tak pernah
diinformasikan dalam laporan keuangan 2014.
Perpanjangan
perjanjian kerja sama operasional (KSO) TPK Koja ditandatangani Pelindo II dan perusahaan milik konglomerat Li
Ka Shing, Hutchinson Port Holdings (HPH). Perpanjangan ini dilakukan tanpa izin
konsesi kepada menteri perhubungan. Penunjukkan HPH pun dilakukan tanpa
mekanisme pemilihan mitra kerja yang seharusnya. Meski belum ada persetujuan
Rapat Umum Pemegang Saham dan persetujuan menteri BUMN, perpanjangan itu
ditandatangani Pelindo II dan HPH.
Temuan
BPK selanjutnya, penujukkan Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch oleh Pelindo II sebagai
penasihat keuangan. Penunjukkan ini dilakukan lewat cara yang bertentangan
dengan aturan perundangan. Kualitas DB yang tidak lulus evaluasi administrasi
ini terindikasi konflik kepentingan, karena merangkap negosiator, pemberi
utang, dan pengatur.
Tak heran,
dalam prosesnya, valuasi bisnis yang dibuat DB tampak lebih condong ke mendukung skenario perpanjangan dengan
mitra lama, dengan menggunakan dasar perhitungan tidak valid. Dampaknya, nilai upfront
fee yang diterima PT Pelindo II jadi lebih rendah.
Maka, BPK
menduga, penyimpangan demi penyimpangan itu merupakan rangkaian proses, yang
berujung pada indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II sebesar Rp
1,86 triliun.
Dibantu
konsultan keuangan, BPK mendapat angka tersebut dari hasil penghitungan sebagai
berikut. Kekurangan upfront fee yang
seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama
sebesar USD 137,47 juta. Kemudian, pembayaran biaya konsultan keuangan kepada
DB yang tidak sesuai ketentuan kontrak sebesar USD 1,59 juta, atau setara Rp21,21
miliar.
Jadi tunggu
apalagi, duhai anggota-anggota dewan yang terhormat? Temuan BPK inilah momentum kejayaan
DPR dalam upaya penyelesaian sengkarut yang melanda perusahaan pengelola pelabuhan
di Indonesia. Hasil audit BPK harus disambut pembuktian DPR kepada rakyat,
kepada ibu pertiwi, dalam upaya mengembalikan kehormatan BUMN lewat penyelamatan TPK Koja dan JICT.
Komentar
Posting Komentar