|
[dok. kaskus] |
Sejak 2008, Bena Kribo, seorang kreator
konten atau istilah yang ia pakai: content creature, mengawali sepak terjang
sebagai Blogger (narablog), beranjak ke Twitter, kemudian Youtube, lanjut ke Instagram,
dan kini terjun ke podcast.
Dari Blog ke Vlog
Bena punya Podcast Level Up di Kaskus, dan Story of Ubi di Spotify. Apa yang membuatnya sekarang tertarik ke podcast?
“Gue
bosenan,” tandas Bena dalam Level Up,
KASKUS Kelas Podcast, Kelas II “All About Content and Pre-Production”, KASKUS Playground, Menara Palma - Annex Building, H.R. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta (23/3/19).
Meski suka bikin blog dan menulis, Bena mengaku sebenarnya ia bukan tipe orang
yang suka baca tulisan banyak. Apalagi
riset buktikan, visual lebih disukai ketimbang tulisan.
“Kalau
baca komik, orang lebih tertarik gambarnya, dan secara riset juga, visual benar-benar
bisa membuat kita jauh lebih fokus daripada hanya baca tulisan,” tuturnya.
Bena
mulai belajar mengedit foto dan mengulik Photoshop sekitar 2009-2010. Walhasil,
blog Bena jadi lebih warna warni, ragam gambar, dan tampil berbeda dari blog yang
lain. Lalu Bena berfikir lagi, arah tren bakal ke mana setelah ini?
Cowok
yang sudah merambah Youtube sejak 2006 silam ini coba menerka-nerka, dan banyak
membaca dan cari informasi. Menurutnya, arah produksi konten kreatif hari ini ke
video. Karena di medium ini kita bisa masukin semua unsur, mulai dari tulisan,
gambar, animasi, hingga audio-visual. Semua
ada di situ. Berdasarkan riset juga, banyak yang bilang saat itu, pada 2019
bakal full of content dan banyak video.
Lantas ia belajar bagaimana cara bikin, dan mengedit video. Mulailah
Bena membuat indovidgram di Instagram pada 2014. Belum banyak orang yang
melirik video dimanfaatkan Bena untuk mengikuti kuis, kompetisi, dan lomba
video hingga memenangkan banyak hadiah.
Melirik Podcast
Awalnya,
Bena mengira konten video sudah yang paling maksimal, karena tidak ada
batasannya. Semua unsur terdapat dalam satu konten. Namun pada 2016-2017, penulis Benabook ini melihat geliat podcast mulai naik di luar
negeri, terutama di Amerika Serikat. Sebut saja, wadah penyedia audio semisal
Soudcloud, dan Spotify bermunculan di jagat maya. Ternyata ada keasyikan tersendiri
dari mendengarkan podcast atau audio content.
Pakar
Bahasa Ivan Lanin perkenalkan kata ‘Siniar’, kependekan dari ‘siaran web
tan-alir’ (non-streaming webcast)
sebagai pengganti padanan kata ‘Podcast’. Perbedaan menonjol dari podcast
adalah kita bisa menyimaknya sambil mengerjakan aktivitas lain. Hampir mirip
mendengarkan radio, podcast semacam kumpulan berkas siaran di mana
kita bisa pilah sesuai kebutuhan.
Bena
paling sering mendengarkan podcast ketika di tengah perjalanan. “Gue paling sering dengerin podcast pas lagi naik
ojek online. Sebelum naik, gue tempel
dulu (earphone-red) di perjalanan, 15
menit, turun sudah tambah ilmunya,” bebernya.
Perkembangan
traffic podcast hari ini mulai ramai. Kaskus saja sudah punya saluran
Podcast di mana semua pemilik akun Kaskus bisa log in dan otomatis memperoleh ruang untuk mengisi konten. Tertarik
main podcast? Perlu diperhatikan, baik blog, vlog, youtube, videogram, maupun
medium interaktif lainnya, masing-masing punya penanganan yang berbeda termasuk
podcast.
Tiap
media sosial mempunyai tampilan antarmuka yang berbeda satu sama lain . Ada
konten yang lebih cocok diunggah di Facebook, dan ada bahasan yang lebih
efektif dicuitkan di Twitter. Ada juga konten yang lebih strategis jika
dipajang di Instagram.
Belum
lagi kalau kita bicara fungsi dan karakter pengguna tiap medium yang khas. Ada platform di mana
kebanyakan penggunanya gemar melampiaskan kemarahan, namun tak jarang dimanfaatkan untuk berbagi utas pengetahuan. Ada medsos yang identik
dengan pamer aktivitas, lapak berjualan, hingga endorsment. Ada juga sosmed yang digunakan untuk mengunggah
momen berharga, kenangan masa jaya, dan kumpulan dokumentasi untuk ditandai, dilihat, dan dikomentari bersama.
|
lifewire.com |
Tips Jadi Podcastar
Bagaimana
dengan karakter pengguna podcast? Hampir
sama dengan media sosial lainnya, dalam menjaring peminat, perlu pertimbangkan
tema yang berkaitpaut dengan demografi usia, jenis kelamin, hingga latarbelakang
profesi. Siapa sajakah yang akan tertarik jika kita pilih podcast yang membahas
ekonomi, misalnya.
Podcast
memang masih tergolong mainan baru. Namun ada satu catatan dari Bena kalau mau membuat podcast, yaitu durasi. Ia sempat lemparkan survei sederhana di
twitter tentang toleransi durasi mendengarkan podcast.
“Gue
survei, ternyata hampir 40-50% mereka suka dengerin podcast yang 5 sampai 15 menit," ungkapnya.
Bena
mengaku lebih suka membuat podcast dengan durasi sekitar 15 menitan. Selanjutnya, bagaimana menyiasati pesan yang ingin diresonansikan dalam satu durasi itu tersampaikan
dengan baik. Misal, Bena sudah to the
point dan tidak bertele-tele dari awal bicara.
Tapi
hal tersebut tidak menjadi patokan juga, lanjut Bena, tergantung kebutuhan dan
selera masing-masing pendengar. Ada yang suka podcast satu jam karena mungkin sedang butuh bahan. Ada yang lebih nyaman memetik intisari dari menyimak
ketimbang membaca. Bahkan ada yang memang ingin berlama mendengar pesan sebagai
motivasi dan penyemangat. Maka, sebagai pegiat digital yang menggunakan multi-platform,
kita harus telaten membagi satu konten menjadi beberapa posting untuk tiap medium.
Misalnya, jika
selama ini satu konten kita bagi ke youtube, facebook, instagram, dan twitter. Kini
satu konten bisa lebih punya nilai tambah dengan kita sisihkan satu lagi untuk
dikemas dalam siniar.
“Sudah
gue coba. Satu konten Level Up, gue ngomong depan kamera. Lalu yang panjang ditaruh di youtube, yang agak pendek di
IG TV, dan Facebook. Audio gue masukin di podcast,” bebernya.
Dari
langkah demikian, Bena bisa menguji seberapa besar keterlibatan pengguna di masing-masing
medium tersebut. Di mana yang paling ramai. Ternyata memang perilaku warganet tidak
bisa diduga. Ketika konten dimuat di podcast, ada yang komentar ingin dalam bentuk tulisan saja. Dari masukan yang dicatat dan dievaluasi, Bena berkesimpulan,
tiap media punya segmen tersendiri, maka perlu pengemasan yang berbeda-beda.
Misal,
satu konten obrolan berlangsung selama satu jam. Belah 1-3 menit untuk feed instagram dan IG TV. Jika ada yang
menarik dan perlu ditonjolkan, bisa menjadi beberapa konten. Ada obrolan penting
yang terekam sekitar 10-15 menit, kita unggah berkas audionya ke podcast.
Kendati
demikian, Bena ingatkan agar satu konten yang dibelahkemas tersebut jangan
diterbitkan dalam satu waktu. Bahan konten bisa diretensi dan dicicil frekuensinya. Selain bikin penasaran para
pelanggan (subscribers) atau pengikut (followers), cara demikian juga efektif menjaga konsistensi kita lewat update secara berkala. Apalagi jika
sudah membicarakan algoritma instagram terkait keaktifan posting.
“Jadi
pas di IG, nge-post satu, minggu depan
ada lagi. Ibarat kalau ngomongin workflow,
bikin satu konten tapi mikirnya jauh banget. Sudah mikir ini bakal bisa dipecah
jadi 10,” sebutnya.
Kecuali
mungkin untuk youtube yang lebih mempertimbangkan aspek durasi tonton panjang agar
iklan (adsense) lebih lama tampil atau
sering berseliweran, bagi yang kanal sudah dimonetasi. Maka banyak video jenis "1 jam bersama..." yakni obrolan penuh
dengan atau tanpa edit diunggah ke youtube.
Bena
mengilustrasikan alur kerja demikian sebagai satu piramida konten di mana tiap
media punya posisi tergantung kebutuhan masing-masing content creator. Misal, dalam kopdar
Kaskus kali ini. Konten yang paling niat, dan memiliki effort besar, dari obrolan 3
jam itu ditaruh di paling atas sebagai podcast. Dari 3 jam itu kita pecah lagi jadi
segmen A , B, dan C. Topik A bisa dipecah lagi jadi masing-masing satu menit.
Nah rekan-rekan
pembaca budiman, bertambah lagi satu medium yang bisa kita manfaatkan jadi
nilai tambah hingga konten kita pun beragam dan berumur panjang. Mulai tertarik merambah ke
podcast atau siniar biar makin bersinar jadi penyiar? Sekuut. Mulai aja dulu.
Komentar
Posting Komentar