Sebelumnya, saya mendapati jejak kepeloporan emansipasi wanita sepanjang
sejarah ada di domain dunia barat semata. Siapa sangka, benih kemandirian dan keperkasaan perempuan justru sudah disemai sejak masa perjuangan kemerdekaan negeri kita tercinta.
Niken Ayu Yuwati
Adalah Peluncuran Buku "Wasiat Ratu Ageng Tegalrejo", 8 Februari 2020 di Perpustakaan Nasional RI Medan Merdeka Jakarta yang mengaktualkan pengetahuan saya. Sosok underrated dalam bagian
sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa terefleksi di peluncuran buku persembahan
siswa-siswi SMP-SMA Don Bosco 2 Pulomas Jakarta ini. Dari peluncuran buku dengan editor, wartawan kawakan dan pembina
ekskul literasi digital SMA Don Bosco 2, Naning
Pranoto, saya dapat jawabannya. Ada kehadiran elemen yang selama ini luput dari fragmen epos Pangeran Diponegoro. Pertama mendengar nama Ratu Ageng
Tegalrejo (1735-1803), tidak memantik keingintahuan saya lebih lanjut. Saya
berpikir, pemilik nama kecil Niken Ayu Yuwati ini sekadar penggenap deretan
permaisuri dari raja-raja tanah Jawa.
Tapi begitu tahu Permaisuri
Sultan Hamengkubuwono I (HB I, 1717 – 1792) ini ternyata adalah perempuan berpengaruh dibalik metamorfosis Raden Mas jadi Pangeran Diponegoro, wadidaw, saya mesti tinjau ulang pengetahuan saya terhadap sejarah tokoh
pahlawan Indonesia. Ada prekuel sebelum sekuel. Ada yang di balik layar
memancang bentangan depan. Seorang pahlawan itu ditempa, bukan ujug-ujug lahir, maju lalu menerjang ketidakadilan di
muka bumi.
Ratu Ageng
Tegalrejo punya karakter utama tokoh perempuan badass yang biasa kita dapati di kemegahan epos kontemporer.
Kesampingkan dulu karakter fiktif Wonder Woman ratu amazon. Sosok orisinil bin
nyata yang saya paparkan ini adalah penungggang kuda yang piawai, dan
mahir menggunakan senjata perang. Tampil tangguh di kancah bengis dengan tetap memegang teguh jiwa religiusnya. Sungguh kombinasi nan ciamik antara kelembutan dan ketangguhan.
Ratu Ageng
Tegalrejo pernah memimpin Korp Prajurit Estri yang isinya pendekar perempuan semua. Di bawah komandonya,
Korp Prajurit Estri naik pamor. Puncaknya, beberapa tahun menjelang Perang
Jawa, utusan negara dan Eropa dibuat kagum akan kemampuan korps pendekar
perempuan ini menunggang kuda, menembak salvo, dan keakuratan membidik.
Jadi, cemana mulanya, Pangeran Diponegoro yang kita
kenal ditakuti seluruh pimpinan kolonial Belanda itu bisa punya guru seorang
perempuan? Begini ceritanya. Pada 1792,
Niken Ayu Yuwati angkat kaki dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat membawa kekecewaan
akibat perilaku sang putra Raden Sundoro (kemudian diangkat sebagai Sultan
Hamengkubuwono II), yang dianggap melangggar ajaran agama, dan nilai luhur kerajaan.
Hal ini makin membebani kedukaan mendalam yang mengiring rasa kehilangan suami
yang pergi untuk selamanya. Mengasingkan dirilah dia dikawal para punggawa
kerajaan membuka hutan belantara.
Mengetahui kenyataan
seorang perempuan paruh baya mantap hidup di hutan saja sudah bisa dibayangkan,
betapa Ratu Ageng Tegalrejo bukan wanita biasa. Sang permaisuri membabat alas, dan
menyingkap hutan yang berlokasi di sebelah barat Kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Bagai seorang pendekar yang menjauh dari gemerlap tahta, ia hidup sederhana dengan bercocok tanam, beternak, dan bertani buah-buahan. Gelar Tegalrejo
(berarti: ladang subur dan makmur) yang disematkan sebagai nama masyurnya bukan
tanpa sebab. Keberhasilan mewujudkan nilai tambah dari belantara yang diolahnya
tersebut membuat Niken Ayu Yuwati selanjutnya dikenal dengan nama “Ratu Ageng
Tegalrejo”. Sebuah penghormatan dari para pengawal dan rakyat yang setia mengabdi kepadanya.
Raden Mas Ontowiryo
Nah, tibalah kita
pada momen yang dinanti-nantikan. Bagai bilahan episode yang menentukan dari sebuah
legenda kepahlawanan, menjelang umur 60 tahun, Ratu Ageng Tegalrejo memutuskan
untuk mengasuh cicitnya, putra Sultan Hamengkubuwono III, Mustahar atau Raden
Mas Ontowiryo (nama kecil Pangeran Diponegoro) di Tegalrejo. Saat itu usia Pangeran
Diponegoro baru enam tahun.
Selanjutnya, takdir
berjalan dengan alamiah di mana sang cicit tumbuh berbekal akhlak mulia, mencintai
rakyat, dan berdisiplin tinggi, lewat pendidikan agama, seni budaya, dan ilmu
pengetahuan yang ditopang dengan pendirian perpustakaan. Kesemuanya diabadikan Pangeran
Diponegoro dalam autobiografi otentiknya: Babad Diponegoro.
Sayang, tidak lama
sang pangeran menyesap saripati dari gelora pribadi perempuan perkasa itu. Di usia Pangeran Diponegoro yang masih belasan
tahun, Ratu Ageng Tegalrejo tutup usia pada 17 Oktober 1803, menyusul sakit
demam payah imbas dari kecelakan di kolam ikan. Di makam para raja trah Mataram, tempat peristirahatan
terakhir Ratu Ageng Tegalrejo, di Pasarean Imogiri Bantul atau dikenal dengan Pajimatan
Girirejo Imogiri Bantul Yogyakarta.
Jadi, ingat-ingat sekarang, kalau kita mengenang sepak-terjang Pangeran Diponegoro memporak-porandakan legiun kolonial
Belanda. Ada sentuhan tangan lembut seorang perempuan yang turut
andil memoles sosok prominen Perang Diponegoro (1825 – 1830) yang bikin trauma pemerintah Belanda akibat kebangkrutan yang mereka harus derita.
Komentar
Posting Komentar