Featured Post

Tips Orang Tua Melek Literasi Digital

fikar school with coaching

Menjadi orang tua untuk anak milenial memang gampang-gampang susah. Ya, kata ‘gampang’-nya disebut duakali. Jadi, pengasuhan (parenting) di abad ke-20 bukan sesuatu yang sulit dilakukan, meski tidak bisa dibilang enteng juga. Kata kuncinya: adaptasi.   


Dari Game Watch ke Online Game

Dalam mendidik anak, kerapkali orang tua bermodalkan pengalaman lama dengan rentang ruang dan waktu di mana mereka pernah berada. Orang tua menempatkan anak-anaknya, yang notabene lahir di era lebih modern dari zaman mereka, untuk mengikuti semua yang pernah mereka terapkan di masa itu. Sebagai ukuran supaya menjadi anak baik, dan patuh hingga berprestasi membanggakan. Toh, saya bisa melewatinya, maka kamu juga harusnya bisa. Demikian orang tua menguatkan argumennya. Apakah pola pengasuhan seperti itu masih cocok diterapan ke anak-anak kita hari ini?   

Generasi x dididik untuk disiplin belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Tidak boleh bermain game watch atau nintendo jika pekerjaan rumah belum selesai. Hadiah sepeda bila saya berhasil memperoleh rangking atau masuk 10 besar di kelas. Tipikal pola reward and punishment ini mestinya juga kompatibel untul anak-anak hari ini dengan beberapa penyesuaian dan modifikasi.

Dulu orang tua bisa memantau anak main dingdong di pusat hiburan arcade seberang rumah. Mereka dapat mengawasi lebih mudah, mulai dari lokasi tempat bermain, jenis game apa yang dimainkan, hingga seperti apa tampilan grafisnya (yang tentu saja masih sangat minimalis). Atau jika mereka menggelar game di rumah, orang tua mengetahui video games apa saja yang dipasang di slot Sega anak-anaknya. Jadi, teknologi yang terkait alat hiburan anak saat itu masih bersifat statis dalam satu medium yang memudahkan orang tua menyaring dan menyeleksi.

Bagaimana dengan hari ini? Sejak pertamakali muncul menyajikan sejuta keajaiban, teknologi bernama internet yang ini terus melesat dan membuka potensi kemungkinan-kemungkinan lebih luas dan tak terbatas. Internet menjadi lompatan teknologi yang memudahkan kita bekerja dan melakukan aktivitas.  Namun, bagi orang tua, seiring fleksibilitas yang diberikan, internet juga menyelipkan ancaman-ancaman yang menghantui anak-anak kita. Betapa fenomena online game dengan grafis yang nyaris realisitis itu mampu membuai dan menghipnotis anak-anak. Tetiba menghentikan keasyikan mereka itu kadang jadi kontraproduktif yang tak jarang menimbulkan pembangkangan yang menguras energi kita.       

Sementara, dari segi pengawasan, mau tak mau, suka tidak suka, orang tua harus senantiasa update perkembangan internet sehat. Mereka juga dituntut paham atau setidaknya mengetahui adanya fitur pengamanan agar pengalaman meramban (browsing) lebih kondusif diakses anak di bawah umur. Bagi orang tua yang berlatar belakang bidang terkait atau memang tech enthusiast, hal ini mudah saja dilakukan. Namun, saya pernah baca, malah seorang Bill Gates saja membatasi penggunaan gawai untuk anak-anaknya hingga mereka genap berusia 14 tahun. Jika salah seorang tokoh teknologi peranti lunak saja sudah menerapkan hal demikian, jelas literasi digital bukan sesuatu yang kaleng-kaleng, melainkan mesti diperhatikan secara serius.


Teknologi Ramah Anak

Bagaimana bagi orang tua yang gagap teknologi atau melihat internet sebatas Facebook dan Whatsapp? Masih segar dalam pengalaman kita bagaimana belajar dari rumah (learning from home) menghentak kesadaran dan memberi pelajaran bagi orang tua, bahwa menguasai internet itu niscaya.  Tak bisa lagi alasan gaptek menjadi pembenaran kondisi kita yang enggan belajar lebih jauh lagi. Apalagi kita mengalami sendiri betapa repotnya penyandang label gaptek itu. Susah payah kita mengikuti ritme frekuensi tugas yang datang silih berganti di chat grup Whatsapp wali murid.        

Markom dan Pegiat Literasi Kiki Handriyani membagi pengalaman mengasuh dua anak perempuan usia sekolah dasar dalam bingkai literasi digital. Alih-alih melarang anak-anaknya menggunakan gawai, Kiki justru membuka akses internet untuk mereka. Tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Diakui Kiki, langkah ini dilakukan tidak mudah, dan melewati trial and error.     

“Saya bebaskan pakai internet. Mau buka Youtube silakan. Tapi prosesnya tidak segampang itu. Jauh sebelum itu, saya bilang, boleh pegang ponsel, main  internet, tapi... ada do’s and dont’s,” ungkapnya dalam IG Live Fikar School “Teknologi Ramah Anak, Kenapa Tidak? Literasi Digital Untuk Anak”, Senin, 22 Juni 2020.

Bebas tapi bertanggungjawab. Mungkin demikian semangat Kiki dalam mendidik anak-anaknya, terutama dalam memberikan akses internet dengan tak lupa menyertakan rambu-rambu yang harus dipatuhi. Sebelum pegang ponsel, tugas sekolah harus sudah selesai. Dilarang membuka situs yang tidak diperbolehkan untuk anak di bawah umur.  

Kiki jelaskan, memberikan gawai ke anak bukan berarti orangtua boleh merasa lega, karena anak sudah anteng, hingga kita dapat melanjutkan pekerjaan atau kesibukan. Pemberian gawai harus disertai komunikasi yang terjalin ringan dan menyelipkan nilai-nilai literasi digital.

Nayla, duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Anak pertama Kiki yang gemar nge-game. Kiki kerap mendampinginya ketika sedang online. Kiki kemudian memantik penasaran sang anak tentang bagaimana game tersebut dibuat. Ia juga mengajak si sulung mengeksplorasi ekosistem dari sebuah game, mulai dari soundtrack hingga peluang monetasi. Bagaimana membuat game merupakan keahlian yang menjanjikan, dan menjadi gamer kini adalah sebuah profesi.

Nadya, anak kedua Kiki ini mempunyai minat yang berbeda dengan kakaknya. Masih duduk di bangku Sekolah Dasar Kelas, 2 tapi Nadya sudah menunjukkan kecenderungan hati yang tinggi terhadap dunia komik dan manga. Gemar corat- coret sejak balita, si bungsu yang memiliki cita-cita menjadi desain grafis di Jepang ini sudah akrab dengan aplikasi mengambar, dan memiliki karya sendiri di Webtoon.      

Sebagai pegiat literasi buku, Kiki juga menyeimbangkan akses digital dengan asupan pendidikan dari buku. Tiap bulan, anak-anak diajak wisata literasi ke toko buku dan dipersilakan memilih buku yang disukai. Jadi, internet tidak bisa dihindari. Bagai pisau bermata dua, gunakan internet untuk keperluan yang baik. Maka, sudah sepatutnya orangtua hari ini luwes dan piawai beradaptasi dengan tetap menanamkan pendidikan literasi digital. Dengan begitu, teknologi ramah anak akan hadir di keluarga dalam rangka menciptakan generasi tangguh dan mampu bersaing di era disrupsi 

Komentar

Artikel Populer

Perbedaan Antara Past Perfect dengan Present Perfect