Featured Post
Apa itu Kampus Merdeka?
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Empat Kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka (Jakarta, 24 Januari 2020)
Pendidikan tinggi memiliki potensi dampak tercepat untuk perubahan SDM unggul. Kenapa? Karena jangka waktu keluar dari perguruan tinggi sampai ke dunia nyata untuk bisa membangun Indonesia, sangat yang tercepat.
Yang pertama adalah pembukaan program studi baru. Bagi teman-teman yang tidak tahu program studi atau prodi, prodi adalah perkumpulan mata kuliah yang dikerjakan para dosen, para kepala prodi, dalam suatu departemen di perguruan tinggi, di mana nanti mahasiswa kalau mengambil prodi tersebut, dia lulus dengan sarjana prodi tersebut. Jadi kalau misal lulusan sarjana teknik sipil, nama prodinya teknik sipil. Kalau sarjana hukum, nama prodinya Hukum, dan lain-lain.
Sekarang, sangat besar tantangan membuka prodi baru.
Perguruan tinggi ditantang untuk menjawab semua kebutuhan industri, kebutuhan
negara, dan lain-lain. Tapi saat dia ingin berinovasi menciptakan kurikulum dan
prodi baru, jumlah proses untuk mendapatkan izin tersebut dari kementrian itu
sangat berat. Kriterianya juga sangat berat. Tapi mereka ditantang untuk
menjawab kebutuhan industri yang selalu berubah. Ini menjadi suatu tantangan yang
sangat besar bagi perguruan tinggi.
Kedua, sekarang banyak sekali kurikulum dari prodi-prodi
di universitas kita, bersifat sangat teoritis. Tidak banyak yang bisa dibilang seratus
persen link and match dengan
kebutuhan dunia nyata. Ketiga, banyak
prodi yang kurikulum, bahan konten, dan materi, belum bisa bersaing di panggung
dunia. Banyak yang bagus tapi belumm bisa dibilang bisa bersaing di panggung dunia.
Jadi. apa solusi dan kebijakannya? Kita ingin melakukan kolaborasi atau bisa
disebut juga “pernikahan massal”.
Apa yang dimaksud “pernikahan massal”? Pernikahan
massal antara universitas dengan berbagai pihak di luar universitas, untuk
menciptakan prodi-prodi baru. Perguruan tinggi yang mempunyai akreditasi A dan
B langsung diberikan izin untuk membuka prodi baru, asal mereka memiliki
kerjasama dengan pihak ketiga, yaitu organisasi-organisasi kelas dunia. Artinya,
untuk universitas yang punya akreditasi A dan B, tidak perlu lagi melalui
proses perizinan prodi di Kementerian. Tidak usah lagi dicocokan dengan rumpun
ilmu dan ketetapan yang mana, dan
lain-lain. Selama mereka bisa membuktikan, mereka melakukan kerjasama dengan 4
opsi: 1.) Perusahaan berkelas dunia, 2.) Organisasi nirlaba berkelas dunia, contohnya PBB, Bank dunia, USAID, dan lain-lain, 3.)
BUMN maupun BUMD, dan 4.) Top 100
University berdasarkan QS Ranking.
Bapak dan Ibu, untuk nomor 1, 2, dan 3, yang bukan
Universitas Top 100, prodi tersebut
harus membuktikan kepada Pemerintah bahwa kerjasamanya riil. Bagaimana cara
membuktikannya? Ada tiga kriteria yang harus terpenuhi. Pertama, harus
menunjukkan kerja sama dengan mitra pihak ketiga dalam penyusunan kurikulum. Kedua,
ada program magan. Ketiga, ada perjanjian kerja sama dari sisi rekrutmen. Artinya,
lulusan prodinya harus ada perjanjian kerjasama dari sisi rekrutmen perusahaan,
NGO kelas dunia, maupun BUMN dan BUMD. Kalau prodi ini bisa membuktikan ada
kerja sama ini dengan organisasi kelas dunia, otomatis akan diberikan izin
membuka program studi.
Kenapa kita melakukan kebijakan ini? Apa hasil
yang kita inginkan? Seperti yang saya bilang tadi, yang kami inginkan “pernikahan
massal”. Semua rektor, kepala prodi, dekan, akan berlomba-lomba, meeting dengan berbagai pihak
universitas luar negeri, NGO kelas dunia, perusahaan kelas dunia di Indonesia
maupun dari luar negeri, untuk menciptakan partnership
yang riil berdasarkan tiga kerangka: kurikulum, magang, rekrutmen. Dengan ini,
kita melepaskan hak perizinan prodi ini sekedar registrasi saja, dan kami akan auto approve kalau perusahaan tertentu
dengan kredibilitas tinggi. Organisasi tersebut harus dengan kredibilitas yang
sangat tinggi. Ini yang kita harapkan.
Perbenturan diskusi yang terjadi dengan berbagai macam instansi, civil society, di dalam maupun luar kampus.
Program
Re-Akreditasi
Kebijakan kedua adalah sistem akreditasi
perguruan tinggi. Akreditasi adalah suatu proses penilaian yang dilakukan Pemerintah
untuk menilai dua hal, yaitu perguruan
tinggi dan prodi dalam perguruan tinggi itu. Mungkin Bapak Ibu mengenal, kadang
kalau kita sebut akreditasinya itu A, B, C. Itulah angka hasil dari sistem
akreditasi tersebut. Apa tantangan yang dihadapi hari ini?
Dosen dan rektor di sini semua mengetahui proses
dan persyaratan akreditasi itu suatu beban yang cukup besar. Karena semua dilakukan
secara manual. Tumpukan dokumentasi dan bukti universitas itu telah melakukan
berbagai macam proses itu bertumpukan. Saat ancang-ancang 2 tahun sebelum waktu
reakreditasi, banyak sekali mahasiswa sampai complain, ini dosennya ke mana. Karena tantangan dari tuntutan re-akreditasi,
karena ingin me-maintain akreditasi
tersebut.
Saat ini juga luar biasa panjang antrian
perguruan tinggi dan prodi yang belum terakreditasi atau yang benar-benar ingin
mengakreditasi. Bayangkan, karena semua perguruan tinggi dan prodi diwajibkan
akreditasi tiap 5 tahun. Sehingga apalagi perguruan tinggi yang lebih kecil,
yang tidak punya banyak resource, itu
banyak yang tidak dapat proses akreditasi. Sampai mereka harus menunggu, kadang
bertahun-tahun. Hampir 20 persen dari
permintaan akreditasi tidak terpenuhi di tahun yang itu. sehingga multi year dia menunggu antrian ini.
Yang terakhir adalah banyak sekali prodi yang ingin
standar yang lebih tinggi lagi. Mereka melakukan akreditasi level internasional. Tapi
mereka masih harus melakukan akreditasi nasional juga, dengan segala macam
prosesnya. Jadi saat ini ada tiga isu
dengan sistem akreditasi. Pertama, sifatnya sangat manual dan menjadikan beban
administratif yang benar-benar men-distract
dosen dan rektor keluar dari fokus core utamanya
yaitu benar-benar meningkatkan kualitas pembelajaran dalam universitasnya. Kedua,
cukup diskriminatif sifatnya, karena banyak sekali yang benar-benar membutuhkan
akreditasi, tidak mendapatkan. Sedangkan yang tidak mau atau tidak merasa perlu
reakreditasi, dipaksakan. Ketiga, bagi yang sudah mengejar target yang lebih
tinggi lagi yaitu akreditasi internasional, bahkan harus mengulangi prosesnya
di tingkat nasional karena belum cukup diakui. Ke mana arahnya akreditasi?
Kita akan menggunakan tiga prinsip ke masa
depan. Akreditasi itu harus mengarah
kepada sifat suka rela di mana hampir semua negara maju sekarang sistemnya
adalah sukarela. Jadi kalau saya mau atau butuh diakreditasi, saya akan
diprioritaskan. Tapi kalau saya tidak merasa butuh itu juga tidak apa-apa.
Kedua, mengutamakan--bukan menekankan, peran masyarakat, industri, dan asosiasi
profesi, untuk melaksanakan akreditasi, dan bukan mengutamakan pemerintahan
yang melakukan akreditasi tersebut.
Kenapa kita ke arah sini, karena makin lama makin
lebih spesifik semua disiplin domain knowledge
itu. Tidak mungkin pemerintah bisa mengetahui dan menguasai semua domain informasi
tersebut bagaimana mengakreditasi tiap prodi. Harusnya asosiasilah yang
bergotong-royong melakukan ini, bahkan lembaga-lembaga akreditasi lainnya. Ketiga,
prinsipnya harus mengikuti best practice
standar internasional. Artinya, makin banyak akreditasi yang diberikan diakui
secara internasional, makin baik. Kita akan mem-push agar sebanyak mungkin akreditasi kita diakui di luar negeri,
bukan hanya dalam negeri. Karena sekarang standar dan knowledge sudah global. Menurut arahan Pak Presiden, lulusan kita harus
menjadi SDM yang unggul di panggung dunia, bukan hanya di negara sendiri.
Jadi apa kebijakannya? Bagi yang tidak membutuhkan re-akreditasi dan belum
mau naik level ke akreditasi yang tinggi, akreditasi akan diperbarui, di-approve secara otomatis. Jadi tidak
harus melalui proses ini. Sementara kita transisi kepada standar best practice International. Kedua, sekarang re-akreditasi, karena sukarela,
artinya bagi yang siap naik, misal dari akreditasi B ke A, dialah yang diprioritaskan badan
akreditasi kami. Jadi sifatnya sukarela. Terakhir, bagi prodi-prodi yang mendapatkan
akreditasi internasional, di mana daftar menu itu akan kita bagi, dia akan secara
otomatis mendapat akreditasi A dari Pemerintah. Tidak harus melalui proses lagi
di tingkat nasional. Kita akan memilih dan mengkurasi semua.
Contoh, ada berbagai macam akreditasi yang
sudah diakui di panggung dunia, yang akan kami seleksi, dan disebarkan. Kalau mendapatkan
akreditasi ini, otomatis dapat A dan tidak harus mengikuti proses nasional. Kita pinjam standar mereka yang sudah diakui
dunia. Dengan sistem ini, banyak sekali perguruan tinggi dan prodi yang
benar-benar butuh akreditasi, bisa lompat di antrian akreditasi. Ini untuk
membantu mereka juga.
Tapi itu tidak berarti Pemerintah tidak akan
mengetatkan monitoring. Kapanpun kalau
Pemerintah mendapatkan pengaduan dari masyarakat atau melihat data, misal daftar
yang masuk jadi menurun secara drastis. Atau misal daftar pengangguran dari
prodi tersebut ternyata meningkat secara drastis. Kapanpun itu, dengan data
apapun, Pemerintah boleh melaksanakan re-akreditasi. Ini sangat penting. Karena
kalau sudah diberikan auto extention bagi
yang sudah ada, harus ada mekanisme di mana Pemerintah bisa melakukan secara ad hoc, suatu re-akreditasi untuk
melindungi para mahasiswa dan dosen dalam prodi tersebut untuk memastikan
kualitas. Jadi ini adalah komprominya. Kalau memang bagi yang tidak membutuhkan
re-akreditasi atau ingin di situ saja, otomatis di-extend. Tapi Pemerintah berhak melakukan re-akreditasi kalau ada
dugaan penurunan kualitas.
PTN Badan
Hukum
Kita maju ke topik ketiga yaitu Perguruan Tinggi
Negeri. Sedikit penjelasan, ada tiga jenis status dari perguruan tinggi negeri
di Indonesia. Status itu menentukan tingkat otonomi perguruan tinggi tersebut. Ini
hanya untuk negeri, bukan untuk swasta. Yang paling tidak otonomi, yang paling seperti bagian dari Kementerian
saja, itu namanya Perguruan Tinggi Negeri Satuan Kerja (PTN Satker). Ini benar-benar
seperti departemen dalam suatu kementerian. Format kedua adalah Perguruan
Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN BLU) di mana lebih ada otonomi, kebebasan,
kemandirian, tapi tidak full. Contoh,
swasta, karena itu masih berstatus bagian dari Pemerintahan.
Yang paling otonomi, yang paling merdeka statusnya
adalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). PTN BH berfungsi hampir seperti
swasta walau didanai Pemerintah. Tapi dia mendapatkan berbagai hak yang sama
seperti swasta dan otonomi. Karena tuntutan masa kini adalah untuk semua
perguruan tinggi bisa bergerak cepat, kita ingin memastikan sebanyak mungkin
perguruan tinggi bisa mencapai status PTN BH, agar semua bisa compete di panggung dunia.
Ini adalah beberapa contoh benefit yang
dinikmati PTN BH, yang tidak dinikmati Satker dan BLU lainnya. Saat ini, baru
11 PTN BH di Indonesia. Hanya 11 universitas yang mempunyai status PTN BH.
Sisanya adalah BLU dan Satker. Contoh, Satker tidak ada fleksibilitas bermitra dengan
industri, sangat sulit melakukan berbagai commercial
project dengan industri. Kedua, semua pengaturan keuangan dan spending-nya harus sangat detil per lini
dan tidak bisa melakukan perubahan cepat. Sulit sekali bagi Satker untuk
misalnya, meng-hire dosen non PNS.
Satker dan BLU tidak diberikan kepemilikan terhadap aset-aset sendiri sehingga
tidak bisa dimanfaatkan. Contoh, memanfaatkan aset-aset untuk mengambil
pinjaman. Ketiga, keleluasaan untuk mengembangkan fasilitas akademik dan non
akademik.
Berbagai macam hal menuntut kecepatan yang
sangat tinggi. Tapi kita tidak memperbolehkan dia mendapat status di mana dia
bisa meningkatkan kualitas sendiri. Jadi apa kebijakan kita? Kebijakan kita
simpel. Yang tadi persyaratannya sangat kuat dan rigid, kita malah akan secara drastis mempermudah syarat menjadi
PTN BH untuk seluruh perguruan tinggi negeri. Bukan hanya itu, akan dibantu menjadi
PTN BH. Jangan lupa, itu bukan pemaksaan. Bagi yang mau berubah menjadi PTN BH.
Kalau memang tidak mau menjadi PTN BH, silakan. Tidak ada paksaan. Ini bagi
yang mau saja.
Poin yang sangat penting, dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kami
komitmen bagi yang berubah menjadi PTN
BH, tidak ada penurunan atau pengurangan subsidi dari Pemerintah. Itu hal yang
sangat penting untuk diketahui. Pada saat pindah menjadi PTN BH, tidak ada kerugian
dari sisi finansial dan pertolongan Pemerintah,.
Perubahan
Definisi Satuan Kredit Semester
Sekarang kita ke bagian favorit saya. Menurut saya,
dari semua kebijakan yang paling penting, karena dampaknya untuk negara kita
bisa terasa secara cepat, riil dan masif. Yaitu hak belajar 3 semester di luar program studi. Hak
mahasiswa. Bayangkan, semua mahasiswa S1 kita, suatu hari harus berenang ke
suatu pulau di laut terbuka. Saat ini, semua perenang kita hanya dilatih satu
gaya saja. Gaya bebas. Satu gaya itu adalah prodinya. Satu prodi, seratus
persen dari semua di satu prodinya. Dia juga hanya dilatih di kolam renang. Kolam renang
itu kampus. Saat ini, semua mahasiswa kita hanya belajar satu disiplin. Lalu dia
latihan berenang, yang nanti harus di laut, hanya di kolam renang yang aman, ada
berbagai laat keamanan, tidak ada ombak, tidak ada arus, dan tidak ada cuaca. Jadi bagaimana saat dia nanti
nyebur di laut terbuka dia bisa survive.
Kita ingin mengubah program S1 itu adalah untuk
dia belajar berbagai macam gaya berenang. Dia belajar gaya katak, cara
mengapung. Dia belajar berbagai macam ilmu berenang. dan jangan cuma berenang
di kolam renang karena kondisi laut itu sangat bervariatif. Sehingga kenapa tidak kita juga sekali-sekali melatih
dia dalam laut yang bebas. Di mana banyak sekali variability, banyak sekali kondisi, untuk melatih kemampuan adaptif.
Inilah sebenanrnya tujuan dari 3
semester di luar prodi, untuk mengubah
kepada sistem S1 yang bisa benar-benar mempersiapkan mahasiswa kita untuk
berenang di laut terbuka yaitu dunia nyata.
Mana profesi zaman sekarang yang hanya
menggunakan satu rumpun ilmu saja. Hampir tidak ada. Semua profesi di dunia
nyata membutuhkan kombinasi dari beberapa disiplin ilmu. Contoh, bagaimana kita
menjadi insinyur yang baik. Kita tidak hanya mengerti ilmu teknik, tapi juga ilmu
desain. Bagaimana orang akan menggunakan produk dan mesinnya. Bagaimana menjadi
corporate lawyer yang baik, kalau
kita cuma mengerti hukum tapi tidak mengerti literasi keuangan yaitu akuntansi,
corporate financial literacy. Bagaimana
menjadi sutradara yang baik, kalau kita jago bikin film tapi tidak bisa memasarkan
ke berbagai sumber pendanaan, dan produser. Memasarkan lewat online,
digital, OTT, TV, dan lain-lain. Bagaimana menjadi arsitek yang baik, kalau
kita tidak mengenal behavioural psycology
yaitu sosiologi, cara orang berpikir, para komunitas hidup, dan lain-lain.
Kenyataan sekarang, sedikit sekali proporsi, mayoritas dari anak-anak lulusan S1 berkarir akhirnya di tempat yang berbeda. Jadi kebijakan kita adalah 8 semester dari mahasiswa S1. Dari 8 semester itu, Kementerian mengeluarkan kebijakan untuk perguruan tinggi memberikan hak 3 semester bisa diambil di luar prodi. Untuk mahasiswa, ini merupakan kebebasan mereka, boleh memilih mengambil sampai dengan 3 semester di luar prodinya. Ini bukan pemaksaan. Ini hanya opsi untuk mahasiswa. Kalau mahasiswa itu ingin seratus persen dalam prodi, itu hak mereka. Tapi adalah suatu kewajiban bagi perguruan tinggi untuk memberikan opsi tersebut. Perguruan tinggi wajib memberikan kesempatan kepada mahasiswa mengambil 3 semester di luar prodi.
Ada satu
pengecualian, untuk bidang kesehatan. Semua bidang kesehatan, mohon maaf, tidak
termasuk. Tapi ketentuan ini berlaku untuk semua prodi lainnya. Dari 3 semester
itu, 2 semester harus diberikan jaminan hak kepada mahasiswa di luar kampus. Artinya,
di laut terbuka (open water). Kegiatan
yang bisa dilakukan Kementerian beserta rektor, keduanya boleh melampuhijaukan
atau menyetujui suatu program di luar kampus
Contoh, magang, praktek kerja, bisa mengajar di
salahsatu sekolah di daerah terpencil, melakukan riset, membantu dosen
melakukan proyek riset, atau bahkan membantu mahasiswa S2 dan S3 melakukan
Ph.D, dan penelitian. Mahasiswa itu bisa bekerja sama dengan dosen untuk
menciptakan salahsatu kurikulumnya sendiri, suatu projek studi independen.
Mereka bisa berkontribusi di desa selama satu semester, bahkan satu tahun untuk
melakukan proyek desa. Tukar pelajar antaa universitas dan mancanegara. Satu semester
abroad. Mahasiswa itu ingin merintis startup dibina oleh dosen. Itu juga
diperbolehkan.
Jadi, dua pihak; rektor dan kementerian yang
melakukanya approval ini. Kita akan
membuka. Ini penting sekali. Bagaimana
contoh permutasinya? Ada anak mungkin
mau magang 6 bulan di start up, enam bulan lagi mengajar di
SD di Sulawesi. Lalu dia ingin melakukan riset berdasarkan pengalaman mengajar
dengan satu dosen favorit. Ada anak mau magang di bank, lalu dia melakukan pertukaran
pelajar di universitas di Singapura yang khusus mengenai banking atau finance. Ada
anak melakukan pertukaran pelajar di Australia, dia jatuh cinta dengan
teknologi. Akhirnya dia kembali, enam bulan berikutnya merintis fintech start up, tapi kurang sukses. Akhirnya dia kerja, megang di
salahsatu start up untuk belajar dulu,
sebelum melanjutkan wirausaha.
Ada berbagai macam permutasi yang bisa
dilakukan. Ini tidak semua harus nyambung. Dia bisa bolak-balik, satu semeseter
di kampus lagi. Itu adalah hak prerogatif rektor bagaimana mengaturnya. Jadi kita
ingin menciptakan dunia baru di mana yang namanya S1 itu hasil dari gotong-royong
seluruh aspek masyarakat, bukan hanya perguruan tinggi yang sekarang
bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak kita. Perusahaan harus
berlomba-lomba melakukan join kurikulum, join rekrutmen dengan universitas. Perusahaan
yang tadinya susah sekali untuk tertarik internship,
karena KKN cuma 1-2 bulan, sekarang dengan ada enam bulan bahkan sampai 1 tahun,
tiba-tiba hampir semua industri, yang saya berbicara mengenai policy ini, langsung melek. Mereka ingin
membuka dan memasukkan anak-anak terbaik dalam program management trainee mereka dan lain-lain.
Organisasi nirlaba kelas dunia yang punya
misi-misi sosial, misi-misi SDG, yang terpenting bisa meluncurkan berbagai magang
dan project dalam universitas. Perguruan
tinggi kelas dunia pun harus berpartisipasi, harus ada perkawinan massal antara
QS Top 100 dengan universitas kita. Karena exchange program di antara kampus-kampus Indonesia dan ke luar
negeri harus terjadi untuk mencapai hak mahasiswa itu.
Saya yakin, setelah keluar dari presentasi ini, begitu banyak rektor harus kumpul
sama rektor lain untuk langsung melakukan berbagai deal making. Inilah yang
akan memecahkan silo-silo dalam perguruan tinggi kita sekarang. Akhirnya
memecahkan paradigma bahwa pendidikan itu hanya tanggung jawab unit pendidikan
yaitu perguruan tinggi, karena itu salah. Ini
tanggung jawab kita semua sebagai masyarakat . Pembebasan SKS ini adalah
suatu kebijakan yang akan memaksakan perbauran itu, yang akan memaksakan
berbagai elemen masyarakat berkontribusi terhadap pendidikan mahasiswa
Indonesia.
Saya ingin menunjukkan suatu video. Ini adalah hasil
program KKN UGM tahun 2018 di Papua. Itu adalah project dua bulan di Papua. Bayangkan apa yang bisa dicapai dalam
waktu enam bulan. Bayangkan apa yang bisa dicapai dalam waktu setahun. Dengan anak-anak
mahasiswa terbaik dari seluruh Indonesia, gotong royong, membantu, belajar dan
berdampak sosial langsung, memecahkan permasalahan, bukan teoritis tapi
permasalahan yang benar-benar ada. Juga berinteraksi dengan berbagai macam adat,
suku, perspektif, sosio ekonomi Indonesia untuk memecahkan masalah yang riil.
Bapak dan Ibu, inilah pendidikan. Ini adalah
pendidikan yang problem focus. Pendidikan
yang secara otomatis akan melakukan penguatan karakter. Ini adalah pendidikan
yang akan mengekspos generasi pemimpin-pemimpin masa depan kepada Indonesia
sebenarnya menjadi apa. Saya terharu tiap kali menonton video itu, karena saya
bisa membayangkan, alangkah powerful-nya
mahasiswa kita kalau kita kerahkan memecahkan masalah riil di luar sana. Itu
adalah esensi dari Kampus Merdeka, dan itu adalah esensi dari Merdeka Belajar.
Nadiem Anwar Makarim - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar