Featured Post

Mengapa Ganja Medis Tidak Dilegalkan? Ini Sebabnya!

  

Gelar Wicara Berbasis Inklusi Sosial: Generasi Hebat, Generasi Tanpa Narkoba

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan permohonan legalitas ganja medis. Gugatan permohonan diajukan pasangan orangtua anak yang mengidap cerebral palsy sejak dini.

  

THC dan CBD 

Dalam putusan yang dibacakan pada Rabu, 20 Maret 2024, perkara nomor 13/PUU-XXII/2024 itu ditolak karena dinilai berpotensi mengakibatkan ketergantungan. Narkotika golongan 1 salah satunya ganja, hanya bisa digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan bukan untuk terapi. 

Putusan ini didasarkan dari Putusan MK Nomor 106/PUU-XVII/2020 yang menyatakan belum ada pengkajian dan penelitian secara menyeluruh mengenai penggunaan ganja atau zat kanabis untuk pelayanan kesehatan. 

Penyuluh Narkoba Ahli Muda Badan Narkotika Nasional (BNN) Novianti Pratiwi menjelaskan, potensi ketergantungan itu berkaitan dengan jenis ganja yang tumbuh di Indonesia. 

”Ganja di Indonesia adalah ganja jenis THC yang tinggi. Sedangkan yang digunakan untuk pengobatan adalah CBD-nya. Ganja di Indonesia itu, kanabinoidnya rendah, lebih tinggi THC-nya,” beber Novianti dalam Gelar Wicara Berbasis Inklusi Sosial: Generasi Hebat, Generasi Tanpa Narkoba, Rabu, 16 Oktober 2024, Ruang Serbaguna Lantai 4, Gedung Perpustakaan Nasional RI, Medan Merdeka, Jakarta. 

Lebih lanjut dijelaskan, Delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) merupakan senyawa psikoaktif yang menyebabkan efek "high" terhadap pengguna. Cannabidiol (CBD), sebaliknya, tidak berefek  ”high”, maka sering digunakan untuk pengobatan, antara lain mengurangi kecemasan, nyeri, dan peradangan. Jadi, THC lebih bersifat rekreatif, sedang CBD lebih sering digunakan untuk efek terapeutik.  

 

Penyuluh Narkoba Ahli Muda Badan Narkotika Nasional (BNN) Novianti Pratiwi

Lebih Banyak Mudarat 

Jadi, sambung Novianti, dibutuhkan riset yang mendalam untuk menjadi landasan apakah ganja bisa digunakan untuk pengobatan. Adapun riset tidak hanya dilakukan BNN, tapi juga melibatkan lintas sektoral, antara lain Kementerian Kesehatan (Kemenkes)Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan BRIN. Maka dibutuhkan kolaborasi kelembagaan dalam melakukan sebuah riset untuk kepentingan negara.   

Perihal ganja medis, kita bisa berkaca pada opium yang menjadi morfin, lanjut Novrianti. Opium tetap menjadi golongan 1, tapi morfin bisa digunakan untuk medis. Jadi, kalau ganja diturunkan ke golongan 3, menurut Novrianti, akan lebih banyak mudarat ketimbang manfaat untuk kepentingan medis. Obat alternatif selain ganja masih ada, hingga dianggap belum urgen melakukan riset yang membuktikan apakah ganja bisa digunakan untuk medis.   

Gelar Wicara Berbasis Inklusi Sosial ini juga menghadirkan Ketua Sub Kelompok Kerja Layanan Referensi Perpusnas RI Yuli Mariani (mewakili Kepala Pusat Jasa Informasi  Perpustakan dan Pengolahan Naskah Nusantara), Ketua Kelompok Kerja Penyusunan Konten Media dan Layanan Informasi Perpustakaan Perpusnas RI C. Juli Odor Nainggolan (mewakili Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi Perpusnas RI), dan Psikiater Agung Frijanto.

Komentar

Postingan populer dari blog ini